MAKALAH AS'SALAM
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Diantara bukti kesempurnaan agama
Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan
suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai
pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini
kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau
ghoror (untung-untungan)., Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan
berupa:Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada
waktu yang ia inginkan.Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada
barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari'at jual-beli salam seusai larangan memakan riba.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
As-Salam secara bahasa memiliki
banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm waat-taslîm (mendahulukan dan
menyerahkan
Menurut al-Azhari, dalam konteks
muamalah, as-salaf mempunyai dua arti: al-qardhu dan as-salam. Arti yang kedua
ini lebih dominan sehingga as-salaf adalah as-salam atau sebaliknya; bahkan
dikatakan ini arti menurut seluruh ahli bahasa. Hanya saja as-salaf lebih
digunakan oleh orang Irak dan as-salam digunakan oleh orang Hijaz. Disebut
as-salam karena penyerahan harga dilakukan di majelis akad. Para fukaha
mengartikan as-salaf atau as-salam sebagai akad atas sesuatu dengan karakter
(spesifikiasi) yang dijelaskan dan dijamin diserahkan belakangan dengan harga
yang diserahkan di majelis akad. Dalam Mu‘jam al-Lughah al-Fuqahâ’ dinyatakan
bay’ as-salam (forward buying) adalah jual-beli barang yang diserahkan
belakangan yang spesifikasinya dijamin dengan harga yang diserahkan di majelis
akad.
Dengan demikian, bay’ as-salam/bay’ as-salaf
adalah jual-beli sesuatu yang dijelaskan karakter (spesifikasi)-nya yang
dijamin diserahkan belakangan dengan sesuatu yang diserahkan seketika. Intinya,
seseorang menyerahkan kompensasi seketika untuk suatu kompensasi yang
dijelaskan spesifikasinya dan dijamin diserahkan belakangan, atau ia mendahulukan
pembayaran harga suatu barang yang akan ia terima setelah tempo tertentu.
As-salaf atau as-salam adalah jual beli yang disyariatkan
Bai'as-salam artinya pembelian barang
yang diserahkan kemu dian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip
yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan
jumlah barang, dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus
memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal
(uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon,
sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan
spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si
tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga
Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan
jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat
menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog,
Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini
dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.
Syarat-syarat terjadinya bai' as-salam adalah a) muslam (pembeli); b) muslam ilaihi (penjual); c) modal atau uang; d) muslam fih (barang); dan e) shighah (ucapan).
SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM
Syarat Pertama: Pembayaran Dilakukan
di Muka (kontan)Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang
berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama'
telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka
atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.Adapun bila
pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan
memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan
membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan
setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan
haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut yang artinya :"Dari
sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang jual-beli piutang dengan piutang." (Riwayat Ad
Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak
ulama' diantaranya Imam As Syafi'i, Ahmad, dan disetujui oleh Al Albany)Walau
demikian halnya, banyak ulama' yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama' telah
bulat untuk melarang jual-beli piutang dengan piutang.Imam Ahmad bin Hambal
berkata: "Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan
menjual piutang dengan piutang), akan tetapi kesepakatan ulama' telah bulat
bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang." Ibnul Qayyim
berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan
dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama
berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan
dengan as Salam; dikarenakan adanya pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran
ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang, bahkan itulah
sebanarnya penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi, serta
termasuk praktek untung-untungan." Syarat Kedua: Dilakukan Pada
Barang-barang yang Memiliki Kriteria JelasTelah diketahui bahwa akad salam
ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka.
Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang
dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan
untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan
barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh
tempo,–diharapkan- tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang
yang dimaksud.Adapun barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya,
misalnya: kulit binatang sayur mayur dll, maka tidak boleh diperjual-belikan
dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang
nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut yang artinya:"Bahwasannya Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan."
(Riwayat Muslim)
Syarat Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada
Saat Akad Dilangsungkan
Penjual dan pembeli berkewajiban
untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini
ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah
barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga
barang.Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras kepada B, maka A
berkewajiban untuk menyebutkan: jenis beras yang dimaksud, tahun panen, mutu
beras, daerah asal serta jumlah barang. Masing-masing kriteria ini mempengaruhi
harga beras, karena –sebagaimana diketahui bersama- harga beras akan berbeda sesuai
dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding
dengan beras IR. Adapun jumlah barang, maka pasti mempengaruhi
harga beras, sebab beras 1 ton sudah barang tentu lebih mahal bila dibandingkan
dengan beras 1 kwintal dari jenis yang sama. Oleh karena itu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya :"Barang siapa yang
memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui
(oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Syarat Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan
Barang PesananTidak aneh bila pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan
untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo
yang disepakati –menurut kebanyakan ulama'- haruslah tempo yang benar-benar
mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang artinya :"Hingga tempo yang telah diketahui (oleh
kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Syarat Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar
Pada Saat Jatuh TempoPada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak
diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo.
Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan
untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at
Islam.Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman seperti durian atau
mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim
buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan.
Selain mengandung unsur ghoror (untung-untungan), akad semacam ini juga akan
menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam
islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut
yang artinya:"Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan
yang lebih besar dari perbuatan." (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan
dihasankan oleh Al Albany)Syarat Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang
Pengadaannya Dijamin PengusahaYang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah
barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya,
maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan
dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau
persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.Persyaratan
ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur ghoror
(untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha
–dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau
dari perusahaannya.
Inilah persyaratan akad salam secara global, dan
yang –berdasarkan ilmu yang disebutkan dalam berbagai buku fiqih.Beberapa Ketentuan as-Salam
As-Salam mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok):
1. shighat (ijab dan qabul)
2. al-‘âqidân (dua orang yang melakukan akad as-salam), yaitu orang yang memesan/pembeli (rabb as-salam) dan yang menerima pesanan/penjual (al-muslam ilayh); keduanya haruslah orang yang secara syar‘i layak melakukan tasharruf
3. al-ma‘qûd ‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan (al-muslam fîh) dan harga (ra’s mâl as-salam). Selain itu, ada syarat-syarat tertentu agar as-salam itu sah, yaitu syarat-syarat yang berkaitan dengan al-muslam fîh dan ra’s mâl as-salam.
Syarat-syarat berkaitan dengan
al-muslam fîh adalah: Pertama, Harus sesuatu yang bisa ditimbang (al-makîl),
ditakar (al-mawzûn) atau dihitung (al-ma’dûd). Karena, Allah melarang kita
menjual sesuatu yang bukan milik kita atau belum sempurna kita miliki.,As-Salam
adalah jual-beli yang demikian, namun oleh nash dikecualikan dari larangan itu,
sehingga larangan itu khusus berlaku pada yang lain.
Pembangunan Ekonomi seharusnya mampu
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat berdasarkan azas demokrasi,
kebersamaan, dan kekeluargaan yang melekat, serta mampu memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada semua pelaku ekonomi untuk berperan sesuai dengan
bidang usaha masing-masing.
Setelah kriteria barang yang
diperlukan telah disepakati, maka kelak ketika telah jatuh tempo, ada beberapa
kemungkinan yang terjadi:A. Kemungkinan Pertama: Penjual berhasil mendatangkan
barang sesuai kriteria yang dinginkan, maka pembeli harus menerimanya, dan
tidak berhak untuk membatalkan akad penjualan, kecuali atas persetujuan
penjual.B. Kemungkinan Kedua: Penjual hanya berhasil mendatangkan barang yang
kriterianya lebih rendah, maka pembeli berhak untuk membatalkan pesanannya dan
mengambil kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan kepada penjual.
Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk menunda atau membuat perjanjian baru
dengan penjual, baik yang berkenaan dengan kriteria barang atau harga barang
dan hal lainnya yang berkenaan dengan akad tersebut, atau menerima barang yang
telah didatangkan oleh penjual, walaupun kriterianya lebih rendah, dan
memaafkan penjual atau dengan membuat akad jual-beli baru.Sikap apapun
yang ditentukan oleh pemesan pada keadaan seperti ini, maka ia tidak dicela
karenanya.
Walau demikian, ia dianjurkan untuk
memaafkan, yaitu dengan menerima barang yang telah didatangkan penjual atau
dengan memberikan tenggang waktu lagi, agar penjual dapat mendatangkan barang
yang sesuai dengan pesanan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang artinya: Dari sahabat Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhai
keduanya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga
Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia
menjual, ketika membeli dan ketika menagih." (Riwayat
Bukhary)C. Kemungkinan Ketiga: Penjual mendatangkan barang yang lebih bagus
dari yang telah dipesan, dengan tanpa meminta tambahan bayaran, maka para ulama'
berselisih pendapat; apakah pemesan berkewajiban untuk menerimanya atau
tidak?Sebagian ulama' menyatakan, bahwa pemesan berkewajiban untuk menerima
barang tersebut, dan ia tidak berhak untuk membatalkan pemesanannya. Mereka
berdalih bahwa: Penjual telah memenuhi pesanannya tanpa ada sedikitpun kriteria
yang terkurangi, dan bahkan ia telah berbuat baik kepada pemesan dengan
mendatangkan barang yang lebih baik tanpa meminta tambahan uang. Sebagian
ulama' lainnya berpendapat: Bahwa pemesan berhak untuk menolak barang yang
didatangkan oleh penjual, apabila ia menduga bahwa suatu saat penjual akan
menyakiti perasaannya, yaitu dengan mengungkit-ungkit kejadian tersebut di
hadapan orang lain. Akan tetapi bila ia yakin bahwa penjual tidak akan
melakukan hal itu, maka ia wajib untuk menerima barang tersebut. Hal ini karena
penjual telah berbuat baik, dan setiap orang yang berbuat baik tidak layak
untuk dicela atau disusahkan:"Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik." (Qs. At Taubah: 91) Pendapat kedua inilah
yang lebih moderat dan kuat, karena padanya tergabung seluruh dalil dan
alasan yang ada pada permasalahan ini,Sebagaimana mereka juga berdalil dengan
hikmah dan tujuan disyari'atkannya akad salam, yaitu pemesan mendapatkan barang
dengan harga yang murah, dan penjual mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia
jalankan dengan dana dari pemesan tersebut yang telah dibayarkan di muka. Oleh
karenanya bila tempo yang disepakati tidak memenuhi hikmah dari
disyari'atkannya salam, maka tidak ada manfaatnya akad salam yang dijalin.
Pendapat kedua: Ulama' mazhab Syafi'i
tidak sependapat dengan jumhur ulama', mereka menyatakan bahwa penentuan tempo
dalam akad salam bukanlah persyaratan yang baku, sehingga dibenarkan bagi
pemesan untuk memesan barang dengan tanpa tenggang waktu yang mempengaruhi
harga barang, atau bahkan dengan tidak ada tenggang waktu sama-sekali.Mereka
beralasan bahwa: bila pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah
berlalu waktu cukup lama dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil
memenuhi pesanan, maka pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak
untuk dibenarkan.
Bila kita cermati kedua pendapat di atas, maka kita dapatkan pendapat kedualah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut:
Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada permasalahan kita ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang akad salam yang tidak mengandung tenggang waktu pada proses penyerahan barang pesanan.
Berdasarkan alasan di atas, sebagian ulama' menyatakan bahwa selama suatu akad dapat ditafsiri dengan suatu penafsiran yang benar, maka penafsiran itulah yang semestinya dijadikan sebagai dasar penilaian.
Adapun hadits di atas, maka tidak tegas dalam pensyaratan tempo, sebagaimana hadits ini dapat ditafsirkan: "Bila kalian memesan hingga tempo tertentu, maka tempo tersebut haruslah diketahui/disepakati oleh kedua belah pihak." Penafsiran ini nampak kuat bila kita kaitkan dengan hal lain yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu timbangan dan takaran. Para ulama' telah sepakat bahwa timbangan dan takaran tidak wajib ada pada setiap akad salam. Timbangan dan takaran wajib diketahui bersama bila akad salam dijalin pada barang-barang yang membutuhkan kepada takaran atau timbangan. Adapun pada barang yang penentuan jumlahnya dilakukan dengan menentukan hitungan, misalnya, salam pada kendaraan, maka sudah barang tentu takaran dan timbangan tidak ada perlunya disebut-sebut.
Setelah persyaratan tempo pengadaan barang ini disepakati oleh kedua belah pihak, maka ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi pada saat jatuh tempo:A. Kemungkinan Pertama: Pedagang berhasil mendatangkan barang pesanan tepat pada tempo yang telah disepakati, maka pada keadaan ini, pemesan berkewajiban untuk menerimanya. B. Kemungkinan Kedua: Pedagang tidak dapat mendatangkan barang pesanan, maka pemesan berhak menarik kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan atau memperbaharui perjanjian, dengan membuat tempo baru. C. Kemungkinan Ketiga: Pedagang mendatangkan barang sebelum tempo yang telah disepakati. Pada keadaan ini apabila pemesan tidak memiliki alasan untuk menolak barang yang ia pesan, maka ia diwajibkan untuk menerimanya. Hal ini dikarenakan pedagang telah berbuat baik, yaitu dengan menyegerakan pesanan, dan orang yang berbuat baik tidak layak untuk disalahkan:"Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik." (Qs. At Taubah: 91)Adapun bila pemesan memiliki tujuan yang dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati, maka ia dibenarkan untuk menolaknya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:"Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan." (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)Sebagai contoh: bila barang yang dipesan adalah, buah-buahan, sehingga cepat rusak, padahal pemesan bermaksud menjualnya pada tempo yang telah disepakati, karena pada saat itu harga buah tersebut lebih mahal, atau banyak peminatnya, maka pemesan dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.Atau barang pesanannya membutuhkan gudang yang luas, sedangkan saat itu gudang yang dimiliki oleh pemesan sedang penuh, maka ia dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.
Bila kita cermati kedua pendapat di atas, maka kita dapatkan pendapat kedualah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut:
Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada permasalahan kita ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang akad salam yang tidak mengandung tenggang waktu pada proses penyerahan barang pesanan.
Berdasarkan alasan di atas, sebagian ulama' menyatakan bahwa selama suatu akad dapat ditafsiri dengan suatu penafsiran yang benar, maka penafsiran itulah yang semestinya dijadikan sebagai dasar penilaian.
Adapun hadits di atas, maka tidak tegas dalam pensyaratan tempo, sebagaimana hadits ini dapat ditafsirkan: "Bila kalian memesan hingga tempo tertentu, maka tempo tersebut haruslah diketahui/disepakati oleh kedua belah pihak." Penafsiran ini nampak kuat bila kita kaitkan dengan hal lain yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu timbangan dan takaran. Para ulama' telah sepakat bahwa timbangan dan takaran tidak wajib ada pada setiap akad salam. Timbangan dan takaran wajib diketahui bersama bila akad salam dijalin pada barang-barang yang membutuhkan kepada takaran atau timbangan. Adapun pada barang yang penentuan jumlahnya dilakukan dengan menentukan hitungan, misalnya, salam pada kendaraan, maka sudah barang tentu takaran dan timbangan tidak ada perlunya disebut-sebut.
Setelah persyaratan tempo pengadaan barang ini disepakati oleh kedua belah pihak, maka ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi pada saat jatuh tempo:A. Kemungkinan Pertama: Pedagang berhasil mendatangkan barang pesanan tepat pada tempo yang telah disepakati, maka pada keadaan ini, pemesan berkewajiban untuk menerimanya. B. Kemungkinan Kedua: Pedagang tidak dapat mendatangkan barang pesanan, maka pemesan berhak menarik kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan atau memperbaharui perjanjian, dengan membuat tempo baru. C. Kemungkinan Ketiga: Pedagang mendatangkan barang sebelum tempo yang telah disepakati. Pada keadaan ini apabila pemesan tidak memiliki alasan untuk menolak barang yang ia pesan, maka ia diwajibkan untuk menerimanya. Hal ini dikarenakan pedagang telah berbuat baik, yaitu dengan menyegerakan pesanan, dan orang yang berbuat baik tidak layak untuk disalahkan:"Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik." (Qs. At Taubah: 91)Adapun bila pemesan memiliki tujuan yang dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati, maka ia dibenarkan untuk menolaknya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:"Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan." (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)Sebagai contoh: bila barang yang dipesan adalah, buah-buahan, sehingga cepat rusak, padahal pemesan bermaksud menjualnya pada tempo yang telah disepakati, karena pada saat itu harga buah tersebut lebih mahal, atau banyak peminatnya, maka pemesan dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.Atau barang pesanannya membutuhkan gudang yang luas, sedangkan saat itu gudang yang dimiliki oleh pemesan sedang penuh, maka ia dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Bai'as-salam artinya pembelian barang
yang diserahkan kemu dian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip
yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan
jumlah barang, dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo,–diharapkan- tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
http://punyahari.blogspot.com/2009/12/aplikasi-ekonomi-dan-akuntansi-syariah.html
http://drahani.wordpress.com/2008/03/05/aplikasi-akad-syariah-dalam-bisnis/
http://yayukaffah.ohlog.com/m.2009.10.html
http://drahani.wordpress.com/2008/03/05/aplikasi-akad-syariah-dalam-bisnis/
http://yayukaffah.ohlog.com/m.2009.10.html
0 komentar:
Posting Komentar