Daftar Blog Saya

Senin, 08 April 2013

Otoritas Moneter


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu Negara dan memiliki hak untuk menetapkan suku bunga dan parameter lainnya yang menentukan biaya dan persediaan uang. Umumnya otoritas moneter adalah bank sentral. Meskipun kadang kala lembaga eksekutif pemerintah mempunyai hak tertinggi untuk menetapkan kebijakan moneter dengan cara mengendalikan bank sentral. Ada berbagai jenis otoritas moneter lainnya, seperti dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa Negara, terdapat suatu dewan yang mengontrol jumlah uang yang beredar beberapa entitas untuk mencetak uang kertas ataupun uang logam. Pada masa berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, otoritas kebijakan moneter di Indonesia pada dasarnya berada di tangan pemerintah. Salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi dan perbankan pada akhir tahun 1990-an, Undang-undang No.13 Tahun 1963 tersebut diganti dengan UU tentang bank sentral yang baru yaitu Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang yang bertujuan agar otoritas moneter dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien melalui sistem keuangan yang sehat, transparan dan terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang memiliki prinsip kehati-hatian.

sesuai dengan pasal 24 nomor undang-undang 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diperbaharui oleh undang-undang nomor 3 tahun 2004, Bank Indonesia selaku Bank Sentral berwenang menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai peraturan perundang-undangan. Selain itu, juga mengacu pada undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang diperbaharui oleh undang-undang nomor 10 tahun 1998, dikatakan bahwa pengawasan bank sentral ini dapat dilakukan secara langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan yang juga berupa pengawasan. Sedangkan secara tidak langsung, seperti pengawasan dini melalui penelitian analitis dan evaluasi laporan bank. Namun pada tahun 1997/1998 terjadi krisis ekonomi yang mengakibatkan kepercayaan DPR bahwa pengawasan bank maupun non bank masih kurang kuat. Seperti contoh kasus BLBI dan Century yang penyelesaiannya masih belum jelas. Karna hal tersebut, terbentuklah otoritas jasa keuangan yang menurut pasal 1 Undang-Undang No. 21 tahun 2011 merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Serta mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
  
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran bank sentral sebagai otoritas moneter?
2.      Apa yang dimaksud dengan  kebijakan moneter serta system moneter?
3.      Apa yang dimaksud dengan otoritas jasa keuangan?
4.      Mengapa dibentuk lembaga otoritas jasa keuangan
5.      Bagaimana landasan pembentukan dan pengaturan otoritas jasa keuangan?

C.    Tujuan permasalahan
1.      Mengetahui peran bank sentral sebagai otoritas moneter
2.      Mengetahui pengertian dari kebijakan meneter
3.      Mengetahui pengertian dari kebijakan moneter dan system moneter
4.      Dapat mengetahui latar belakang dibentuknya otoritas jasa keuangan
5.      Dapat mengetahui landasan pembentukan dan pengaturan otoritas jasa keuangan



BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Peran Bank Sentral Sebagai Otoritas Moneter
Peran bank sentral dalam perekonomian suatu Negara sangat penting. Bank sentral adalah mitra utama pemerintah dalam menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi melalui kebijakan suku bunga dengan statusnya sebagai otoritas moneter. Sebagai otoritas moneter bank sentral memiliki tujuan, tugas, maupun wewenang yang tidak dimiliki lembaga ekonomi lainnya.
Ada berbagai jenis otoritas lainnya, seperti dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa Negara. Terdapatnya suatu dewan yang mengontrol jumlah uang yang beredar terhadap mata uang lain, dan juga diperbolehkannya beberapa entitas untuk mencetak uang kertas dan uang logam. Disini Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki peran tersebut. Selain itu Bank Indonesia memiliki beberapa wewenang yang merupakan hasil dari sharing of executive power. Maksudnya untuk menghindarkan Bank Indonesia dari posisi yang dapat menimbulkan conflict of interest. Yaitu antara agen program pemerintah dan pengelola kebijakan moneter. Kedua fungsi tersebut memilki fungsi berbeda. Disatu sisi, pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan fiscal dan dilain pihak Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui kebijakan moneternya.
Dalam konsep sharing of executive power ini, maka Pemerintah memegang otoritas fiskal (dan sektor riil), sedangkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara yang memliki fungsi khusus, yaitu sebagai otoritas di bidang moneter, perbankan, dan system pembayaran, dengan tujuan menkonstruksikan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat yang tercermin dari terjaganya kestabilan rupiah. fungsi ini diyakini tidak dapat berjalan dengan baik apabila tercampur dengan ragam fungsi departemental pemerintahan yang sarat dengan tarik menarik kepentingan politik dan seringkali berubah karena mengandung faktor subyektifitas yang tinggi.
Dengan demikian, maka dengan adanya sharing of executive power ini, kekuasaan Pemerintah dalam kebijakan ekonomi tidak terkonsentrasi. Hal ini juga secara tegas tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa kekuasaan Presiden selaku Kepala Pemerintahan “tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang”

1.2 Pengertian Kebijakan Moneter, Sistem Moneter Serta kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Yang termasuk dalam sistem moneter adalah bank-bank atau lembaga-lembaga yang ikut menciptakan uang giral. Di Indonesia yang dapat digolongkan ke dalam sistem moneter adalah otoritas moneter yaitu Bank Indonesia dan bank-bank pencipta uang giral. Oleh karena itu sistem perbankan merupakan bagian integral dari suatu sistem moneter.
Otoritas moneter sebagai lembaga yang berwenang dalam pengambilan kebijakan di bidang moneter, juga merupakan sumber uang primer, baik bagi perbankan, masyarakat maupun pemerintah. Di samping mengeluarkan uang kartal, otoritas moneter juga menerima simpanan giro dari perbankan atau pemerintah. Simpanan giro tersebut bagi otoritas moneter merupakan uang primer sedangkan bagi bank-bank uang tersebut merupakan alat likuid. Dalam kaitan tersebut semua bank diharuskan memiliki rekening giro pada bank sentral dan mewajibkan setiap bank mempertahankan sejumlah tertentu dana dalam rekening gironya tersebut di Bank Indonesia sebagai bank sentral. Fungsi giro tersebut pada dasarnya adalah untuk memperlancar transaksi antarbank melalui mekanisme kliring di samping sebagai alat kebijakan moneter dalam rangka pengendalian jumlah uang beredar.
Saldo minimum yang wajib dipelihara pada bank sentral pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari ketentuan cadangan likuiditas wajib minimum yang dikenal sebagai statutory reserve requirement. Ketentuan giro wajib minimum yang berlaku saat ini adalah 5% dari total dana masyarakat yang dihimpun bank.

v  Fungsi Otoritas Moneter
Fungsi pokok otoritas moneter diantara lain adalah sebagai berikut:
a.       Menciptakan uang kertas dan logam
b.      Menciptakan uang primer
c.       Memelihara cadangan devisa nasional
d.      Mengawasi sistem moneter

v  Fungsi Sistem Moneter
Fungsi utama sistem moneter antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Menyelenggarakan mekanisme lalu lintas pembayaran yang efisien sehingga mekanisme tersebut dapat dilakukan secara cepat, akurat dan dengan biaya yang relatif kecil.
b.      Melakukan fungsi intermediasi guna mempercepat pertumbuhan ekonomi.
c.       Menjaga kestabilan tingkat bunga melalui pelaksanaan kebijakan moneter.


Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1.       Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2.      Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3.       Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4.       Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

v  Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

v  Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
                          i.      Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
                        ii.      Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
                      iii.       Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

1.3  Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lemabaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.

v  Fungsi Otoritas Jasa Keuangan adalah:
1)      Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan
2)      Menjaga stabilitas system keuangan
3)      Melakukan pengawasan non bank dalam struktur yang sama seperti sekarang
4)      Pengawasan bank keluar dari otoritas bank Indonesia sebaga bank sentral dan dipegang oleh lembaga baru.

v  Tujuan dalam pembentukan Otoritas jasa Keuangan:
1)      Untuk mencapainya, bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
2)      Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis.
3)      Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki sumber daya manusia dan ahli yang mencukupi.

1.4 Latar Belakang Terbentuknya Otoritas Jasa keuangan
Otoritas jasa keuangan merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi.
Seperti yang diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat system keuangan Indonesia porak-poranda. Sejak itu maka lahirlah Otoritas Jasa Keuangan yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan dibidani berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan oleh undang-undang. Nyatanya sampai dengan tahun 2002 draf pembentukan Otoritas jasa keuangan belum ada, sampai akhirnya UU No 23 1999 tentang Bank Indonesia tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan tugas bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Setelah lebih dari tiga tahun akhirnya siding paripurna DPR pada tanggal 19 Desember 2003 menyelesaikan amandemen undang-undang Bank Indonesia. Usulan amandemen ini semula diajukan semasa pemerintahan presiden Gus Dur. Salah satu masalah krusial yang memperlambat proses amandemen ini adalah menentukan siapa yang berwenang mengawasi industry perbankan. Akhirnya terjadi tarik ulur antara bank Indonesia dan pemerintah yang dalam kaitan ini diwakili oleh departemen keuangan. Karena hal tersebut akhirnya diputuskan untuk membentuk Otoritas Jasa keuangan paling lambat tahun 2010. Sebelum diamandemen bunyi ketentuannya adalah Lembaga Pengawas jasa Keuangan (LPJK) yang kemudian menjadi OJK. Secara historis, ide pembentukan Otoritas jasa Keuangan adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR.

1.5  Landasan Pembentukan dan Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan
awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihakdalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada 3 hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yaitu perkembangan ndustri sector jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industry jasa keuangan dan amanat undang-undang no. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia (pasal 34).
Pasal 34 undang-undang No.3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis asia yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia. Khususnya pada sector perbankan. Krisis pada pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka system keuangan yang lebih tangguh. Reformasi di bidang hokum perbankan diharapkan menjadi obat penyembuh krisis dan sekaligus menciptakan penangkal dalam pemikiran permasalahan-permasalahn di masa depan.
Untuk itu terbentuklah ide awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan Habibie, pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Rancangan undang-undang ini di samping memberikan indepedensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawsan perbankan dari bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ini datang dari helmut Schlesinger, mantan gubernur Bundesbank (bank sentral jerman) yang pada waktu penyusunan rancangan undang-undang (kemudian menjadi undang-undang no.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral jerman yang tidak mengawasi bank. Di Jerman, pengawasan industry perbankan dilakukan oleh suatu badan khusus yaitu Bundesaufiscuhtsamt fur da kreditwesen. Pada waktu rancangan undang-undang tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat oleh kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral. Nantinya Otoritas Jasa Keuangan akan mengawasi seluruh industry jasa keuangan yang ada di Indonesia.
Usulan untuk membagi kewenangan di bidang pengaturan dan pengawasan bank kepada 2 lembaga, yaitu bank Indonesia dan lembaga penyedia jasa keuangan atau dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bentuk dari system ini merupakan hal baru dalam sejarah perkembangan di bidang perbankan di Indonesia, mengingat bentuk pengaturan dan pengawasan perbankan sebelumnya berada di dalam satu lembaga saja, yaitu Bank Indonesia. Namun nantinya tugas mengawasi bank berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam undang-undang no.3 tahun 2004 tentang bank Indonesia ditetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Namun sebelumnya diamndemenkan undang-undang no.23 tahun 1999 tentang bank Indonesia menjadi undang-undang no.3 tahun 2004 tentang bank Indonesia bunyi ketentuannya adalah “Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa Keuangan) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002”.
Tetapi dalam penyusunan undang-undang Otoritas Jasa Keuangan terdapat masalah yang harus diidentifikasi yang selanjutnya dikaji dan dianalisa kebaikan dan kelemahannya, serta menelaah praktek-praktek dalam membentuk suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sector jasa keuangan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan prinsip-prinsip untuk melakukan reformasi dan organisasi lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sector jasa keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan. 
           













PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM
KEHIDUPAN SEHARI-HARI



KATA PENGANTAR

          Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan bimbingan-Nya makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Dan tidak lupa syalawat serta salam diucapkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad AS, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang-benderang. Makalah yang berjudul “Pengunaan Bahasa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-Hari” Ini sebagai pemenuhan tugas dari Dosen Pembina Bahasa Indonesia.
            Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat teratasi. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat :
1.      Prof. Ir. H. Sunarpi, Ph. D. Rektor Universitas Mataram
2.      Prof. DR. H. Thatok Asmony, MBA, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mataram
3.      Hj. Susi Retna C, SE, M. Si, Ak, Ketua Jurusan Akuntansi
4.      Hj. Susi Retna C, SE, M. Si, Ak, Ketua Program Studi akuntansi
5.      Wahidatul Husnaeni, SE, M. Si, Dosen Pembimbing Akademik
6.      Drs. H. Nasaruddin M. Ali, Dosen Pembina Bahasa Indonesia
7.      Seluruh Dosen dan Tenaga Administrasi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
8.      Orang tua serta sahabat-sahabat yang selalu mendukung dan mendoakan sehingga makalah ini dapat terselesaikan

Penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL                              ………………………………………………………   i
KATA PENGANTAR                            ………………………………………………………   ii
DAFTAR ISI                                           ...……………………………………………………   iii

BAB I PENDAHULUAN                     ………………………………………………………  4
1.1  Latar Belakang                      ………………………………………………………  4
1.2  Rumusan Masalah                 ………………………………………………………  4
1.3  Batasan Masalah                   ……………………………………………………….  5
1.4  Tujuan Penelitian                  ……………………………………………………….  5
1.4.1. Tujuan Umum                   ……………………………………………………….  5
            1.4.2   Tujuan Khusus                  ……………………………………………………….  5

BAB II KAJIAN PUSTAKA             .....................................................................................  6

BAB III PEMBAHASAN                  ………………………………………………………  7
            3.1 Pengertian Bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar  …………………………..   7
            3.2 Menggunakan Bahasa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-hari  ………………   8
            3.3 Manfaat Penggunaan bahasa Indonesia  ………………………………………..   12

BAB IV PENUTUP                           ……………………………………………………...   14
4.1 Kesimpulan                         ……………………………………………………..   14
4.2 Saran-Saran                        ………………………………………………………  14

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Istilah bahasa Indonesia yang baik telah dikenal oleh masyarakat secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Namun pengenalan istilah tidak menjamin secara komperhensif konsep dan makna istilah bahasa Indonesia yang baik itu. Hal ini terbukti bahwa masih banyak orang atau masyarakat berpendapat bahwa bahasa Indonesia yang baik sama dengan bahasa Indonesia yang baku atau bahasa Indonesia yang benar. Slogan “pergunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar”, tampaknya mudah diucapkan, namun maknanya tidak jelas. Slogan tersebut diartikan oleh sebagian besar masyarakat bahwa di segala tempat kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Selain itu, masalah lain yang perlu kita soroti adalah sebagian besar orang terkadang sulit untuk melakukan komunikasi yang interaktif satu sama lain, bukan berarti karena mereka tidak bisa berbahasa indonesia yang baku dengan lancar. Bahasa Indonesia yang baku dan bahasa indonesia yang benar belum tentu dapat menjamin tersampaikannya maksud dan tujuan kepada lawan bicara. Sehingga dibutuhkan susunan bahasa indonesia yang fleksibel yang artinya dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi.
Dengan gambaran kondisi yang demikian itu, dimana pengetahuan masyarakat masih kurang tepat dan terbatas berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pengertian bahasa Indonesia yang baik, cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari, serta manfaat penggunaan bahasa Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
Bahasa Indonesia yang baik merupakan kemampuan berbahasa yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Indonesia yang baik bukan berarti bahasa Indonesia yang baku, namun merupakan suatu susunan bahasa yang dikemas secara fleksibel untuk mempermudah berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu kita perlu mengetahui dan menguasai bahasa Indonesia yang baik, dengan mempelajari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari, serta manfaat bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari.
1.3  Batasan Masalah
Agar dalam merumuskan masalah tidak menyimpang dari judul yang dibuat, maka penulis perlu melakukan pembatasan masalah untuk mempersempit ruang lingkup sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar ?
2.      Bagaimana cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari ?
3.      Apa saja manfaat menggunakan bahasa Indonesia ?

1.4  Tujuan Penelitian
Dalam makalah ini terdapat beberapa tujuan yang terdiri dari :
1.4.1        Tujuan Umum
Dapat mendiskripsikan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
1.4.2        Tujuan khusus
1.      Dapat menjelaskan cara menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari
2.      Dapat menjelaskan manfaat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Untuk mempelajari bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Bahasa Indonesia yang baik menurut Suharianto (1978 : 18); Moeliono (1988 : 19); dan Arifin (1993 : 9) adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma-norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam situasi santai dan akrab seperti di pasar, di warung kopi, di meja makan saat makan bersama, hendaknya digunakan bahasa Indonesia yang santai tidak terlalu terikat oleh aturan-aturan atau kaidah-kaidah kebahasaan. Dalam situasi resmi atau formal, misalnya : dalam kuliah, seminar, pidato, dan lain-lain hendaknya digunakan bahasa Indonesia ragam formal, yang selalu memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan. Itu berarti, bahasa Indonesia yang baik hendaknya memperhatikan situasi kebahasaan, dimana, kapan, dengan siapa bahasa itu digunakan.
Disisi lain, Arifin (1993 : 10) mengatakan bahwa bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia meliputi kaidah ejaan, pembentukan kata, penyusunan kalimat, penyusunan paragraph, dan kaidah penalaran. Jika semua kaidah itu ditaati secara seksama dan konsisten, pemakaian bahasa Indonesia itu dikatakan benar. Bila sebaliknya, pemakaian bahasa itu dianggap tidak benar. Dengan demikian, bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan bahasa Indonesia yang memperhatikan norma-norma kemasyarakatan atau situasi yang berlaku. Jika situasi formal, bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah kebahasaan  yang berlaku dan bila situasi non formal cukup digunakan ragam santai atau ragam non baku.
Dari penjelasan tersebut kita perlu memperhatikan cara penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karna seperti yang diketahui dalam kehidupan sehari-hari banyak masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Misalnya, dalam hal berkomunikasi disuatu tempat, masyarakat lebih sering menggunakan bahasa yang tidak baku dari pada bahasa yang baku. Itu terjadi karna suatu kebiasaan dari kecil atau faktor dari lingkungan tempat ia tinggal.   


BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Pengertian bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar

Berbahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan tempat tempat terjadinya kontak berbahasa, sesuai dengan siapa lawan bicara, dan sesuai dengan topic pembicaraan. Bahasa Indonesia yang baik tidak selalu perlu beragam baku. Yang perlu diperhatikan dalam berbahasa Indonesia yang baik adalah pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa. Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu bergam baik (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1988, halaman 19). Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika kita melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”. Pemakaian bahasa Indonesia yang baik perlu memperhatikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya .(Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 20).
Kalo kita cermati kutipan-kutipan di atas tentang apa itu bahasa Indonesia yang baik, erat sekali hubungannya dengan ragam bahasa. Berarti untuk lebih memahaminya kita juga perlu tahu apa saja ragam bahasa yang ada di dalam bahasa Indonesia. Sepertinya perlu pembahasan tersendiri mengenai hal itu. Jadi yang penting dalam masalah “yang baik dan benar” kali ini adalah kita tetap berbahasa sesuai keadaan, situasi, dengan siapa kita berbicara, dan untuk tujuan apa kita berbahasa.
Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain umur yang berbeda, daya serap seorang anak dengan orang dewasa tentu saja berbeda. Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan, yaitu pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim pesan menggunakan telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikan kepada penerima pesan.
Marilah kita gunakan contoh sebuah majalah atau buku. Pengirim pesan dapat berupa penulis artikel atau penulis cerita, baik komik, dongeng, atau narasi. Isi pesan adalah permasalahan atau cerita yang ingin disampaikan atau dijelaskan. Media pesan merupakan majalah, komik, atau buku cerita. Semua bentuk tertulis itu disampaikan kepada pembaca yang dituju. Cara artikel atau cerita itu disampaikan tentu disesuaikan dengan pembaca yang dituju. Berarti, dalam pembuatan tulisan itu akan diperhatikan jenis permasalahan, jenis cerita, dan kepada siapa tulisan atau cerita itu ditujukan.

3.2    Menggunakan Bahasa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-hari
       Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dalam kehidupan sehari-hari harus sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya dalam situasi nonformal seperti di warung, di pasar, di rumah dan lain- lain hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang tidak terlalu terikat. Contohnya, “ Berapa nih, Bu, ikannya ? “.
       Sedangkan pada situasi formal seperti kuliah, seminar, rapat dan lain- lain, menggunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal serta memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku, seperti kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat dan kaidah penataan penalaran. Jika kaidah – kaidah bahasa kurang ditaati, maka pemakaian bahasa Indonesia tersebut tidak benar atau tidak baku. Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan juga mengikuti kaidah bahasa yang benar. Agar penggunaan bahasa Indonesia dapat digunakan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut :
1.      Isi atau makna, yaitu berhubungan dengan pikiran, gagasan atau perasaan yang disampaikan
2.      Keadaan pemakaian bahasa, yaitu yang berhubungan dengan suasana tempat, atau waktu bahasa
3.      Khalayak/sasaran, yaitu yang berkenaan dengan usia, kelamin, pendidikan, pekerjaan dan kedudukan
4.      Sarana saluran yang digunakan, umpamanya melalui telepon, radio, televisi
5.      Cara berhubungan langsung atau tidak langsung, misalnya melalui forum rapat, televisi, radio, dan surat
       Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia yang baik dan benar yang berarti pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.
       Selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat kita menggunakan bahasa Indonesia yaitu :
1.      Tata bunyi (fonologi), fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yang meliputi :
·         Fonetik, adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.
·         Fonemik, adalah ilmu yang mempelajari bunyi atau ujaran yang dalam fungsinya sebagai pembeda arti.
Kalau dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-bunyi yang dapat mempunyi fungsi untuk membedakan arti.
2.      Tata bahasa (kalimat),
Masalah definisi atau batasan kalimat tidak perlu dipersoalkan karena sudah terlalu banyak definisi kalimat yang telah dibicarakan oleh ahli bahasa. Yang lebih penting untuk diperhatikan ialah apakah kalimat-kalimat yang klita hasilkan dapat memenuhi syarat sebagai kalimat yang benar (gramatikal). Selain itu, apakah kita dapat mengenali kalimat-kalimat gramatikal yang dihasilkan orang lain. Dengan kata lain, kita dituntut untuk memiliki wawasan bahasa Indonesia dengan baik agar kita dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang gramatikal dalam komunikasi baik lisan maupun tulis, dan kita dapat mengenali kalimat-kalimat yang dihasilkan orang lain apakah gramatikal atau tidak. Suatu pernyataan merupakan kalimat jika di dalam pernyataan itu terdapat predikat dan subjek. Jika dituliskan, kalimat diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya. Pernyataan tersebut adalah pengertian kalimat dilihat dari segi kalengkapan gramatikal kalimat ataupun makna untuk kalimat yang dapat mandiri, kalimat yang tidak terikat pada unsure lain dalam pemakaian bahasa. Dalam kenyataan pemakaian bahasa sehari-hari terutama ragam lisan terdapat tuturan yang hanya terdiri dari atas unsur subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja.
3.      Kosakata,
Dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita dituntut untuk memilih dan menggunakan kosa kata bahasa yang benar. Kita harus bisa membedakan antara ragam bahasa baku dan ragam bahasa tidak baku, baik tulis maupun lisan. Ragam bahasa dipengaruhi oleh sikap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembaca (jika dituliskan). Sikap itu antara lain resmi, akrab, dingin, dan santai. Perbedaan-perbedaan itu tampak dalam pilihan kata dan penerapan kaidah tata bahasa. Sering pula raga mini disebut gaya. Pada dasarnya setiap penutur bahasa mempunyai kemampuan memakai bermacam ragam bahasa itu. Namun, keterampilan menggunakan bermacam ragam bahasa itu bukan merupakan warisan melainkan diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalaman. Keterbatasan penguasaan ragam/gaya menimbulkan kesan bahwa penutur itu kurang luas pergaulannya. Jika terdapat jarak antara penutur dengan kawan bicara (jika lisan) atau penulis dengan pembaca (jika ditulis), akan digunakan ragam bahasa resmi atau apa yang dikenal bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara, akan makin resmi dan berarti makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.

4.      Ejaan,
Dalam bahasa tulis kita menemukan adanya bermacam-macam tanda yang digunakan untuk membedakan arti sekaligus sebagai pelukisan atas bahasa lisan. Segala macam tanda tersebut untuk menggambarkan perhentian antara , perhentian akhir, tekanan, tanda Tanya dan lain-lain. Tanda-tanda tersebut dinamakan tanda baca. Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana memotong-motong suku kata, bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu harus berguna terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita menuliskan seluruh kata di sana. Kecuali itu, penggunaan huruf kapital juga merupakan unsur penting yang harus diperhatikan dalam penulisan dengan ejaan yang tepat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambing-lambang bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.
5.      Makna,
Pemakaian bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya, dalam bahasa ilmu tidak tepat digunakan kata-kata yang bermakna konotatif (kata kiasan tidak tepat digunakan dalam ragam bahasa ilmu). Jadi, pemakaian bahasa yang benar adalah pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa. Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahsa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik apa yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau orang yang akan membaca (kalau tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita.

3.3    Manfaat Menggunakan Bahasa Indonesia
1.      Mempermudah dalam komunikasi,
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4). Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu, kita ingin dipahami oleh orang lain, kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain, kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita, kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita. Pada saat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan mudah dipahami orang lain atau tidak. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, nuansa tradisional.
2.      Mempermudah kita untuk berintegrasi dan beradaptasi secara social,
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5). Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang-orang yang kita hormati.



BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
       Dari uraian diatas kita dapat mengambil kesimpulan, yaitu :
1.      Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang pemakaiannya sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya.
2.      Cara menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan menggunakan bahasa yang baku sesuai dengan kaidah ejaan atau ejaan yang disempurnakan.
3.      Manfaat yang kita peroleh dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah mempermudah dalam berkomunikasi dan dapat mempermudah dalam beradaptasi di lingkungan bermasyarakat.

4.2 Saran-Saran
       Berdasarkan kesimpulan diatas, kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan bahasa yang baku sesuai dengan kaidah ejaan atau ejaan yang disempurnakan.



DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. Dkk. 2003, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi-2. Jakarta: Balai Pustaka

Arifin, Zaenal, 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akapress

Badudu, J.S. 1983. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: Gramedia

Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta

Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. Jakarta: Pustaka Jaya

Kartomihardjo, S. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2 LPTK

Moeliono, Anton. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Prihartini, Niniek. Ejaan Yang Disempurnakan. Surabaya: Mitra Jaya Compugrafi

Sabariyanto, Dirgo. 1999. Kebakuan dan Ketidakbakuan Kalimat dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Mitra Gama Widya

Sugono, Dendy. 1989. Berbahasa Indonesia Dengan Benar. Jakarta: Priastu

Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa




Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
Instagram