BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Otoritas moneter adalah
suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang
beredar pada suatu Negara dan memiliki hak untuk menetapkan suku bunga dan
parameter lainnya yang menentukan biaya dan persediaan uang. Umumnya otoritas
moneter adalah bank sentral. Meskipun kadang kala lembaga eksekutif pemerintah
mempunyai hak tertinggi untuk menetapkan kebijakan moneter dengan cara
mengendalikan bank sentral. Ada berbagai jenis otoritas moneter lainnya, seperti
dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa Negara, terdapat suatu dewan yang
mengontrol jumlah uang yang beredar beberapa entitas untuk mencetak uang kertas
ataupun uang logam. Pada masa berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, otoritas kebijakan moneter di Indonesia
pada dasarnya berada di tangan
pemerintah. Salah
satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi dan perbankan pada akhir tahun
1990-an, Undang-undang No.13 Tahun 1963 tersebut
diganti dengan UU tentang bank sentral yang baru yaitu Undang-undang No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang
yang bertujuan agar otoritas moneter dapat menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter yang efektif dan efisien melalui sistem keuangan yang sehat, transparan dan terpercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank
yang memiliki prinsip kehati-hatian.
sesuai dengan pasal 24 nomor undang-undang 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia yang telah diperbaharui oleh undang-undang nomor 3 tahun
2004, Bank Indonesia selaku Bank Sentral berwenang menetapkan peraturan,
memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari
bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai
peraturan perundang-undangan. Selain itu, juga mengacu pada undang-undang nomor
7 tahun 1992 tentang perbankan yang diperbaharui oleh undang-undang nomor 10
tahun 1998, dikatakan bahwa pengawasan bank sentral ini dapat dilakukan secara
langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan
yang juga berupa pengawasan. Sedangkan secara tidak langsung, seperti
pengawasan dini melalui penelitian analitis dan evaluasi laporan bank. Namun
pada tahun 1997/1998 terjadi krisis ekonomi yang mengakibatkan kepercayaan DPR
bahwa pengawasan bank maupun non bank masih kurang kuat. Seperti contoh kasus
BLBI dan Century yang penyelesaiannya masih belum jelas. Karna hal tersebut,
terbentuklah otoritas jasa keuangan yang menurut pasal 1 Undang-Undang No. 21
tahun 2011 merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak
lain. Serta mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
peran bank sentral sebagai otoritas moneter?
2.
Apa
yang dimaksud dengan kebijakan moneter
serta system moneter?
3.
Apa
yang dimaksud dengan otoritas jasa keuangan?
4.
Mengapa
dibentuk lembaga otoritas jasa keuangan
5.
Bagaimana
landasan pembentukan dan pengaturan otoritas jasa keuangan?
C.
Tujuan permasalahan
1. Mengetahui peran bank sentral
sebagai otoritas moneter
2. Mengetahui pengertian dari kebijakan
meneter
3. Mengetahui pengertian dari kebijakan
moneter dan system moneter
4. Dapat mengetahui latar belakang
dibentuknya otoritas jasa keuangan
5. Dapat mengetahui landasan
pembentukan dan pengaturan otoritas jasa keuangan
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Peran
Bank Sentral Sebagai Otoritas Moneter
Peran bank sentral dalam
perekonomian suatu Negara sangat penting. Bank sentral adalah mitra utama
pemerintah dalam menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi melalui kebijakan suku
bunga dengan statusnya sebagai otoritas moneter. Sebagai otoritas moneter bank
sentral memiliki tujuan, tugas, maupun wewenang yang tidak dimiliki lembaga
ekonomi lainnya.
Ada berbagai jenis otoritas lainnya,
seperti dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa Negara. Terdapatnya suatu
dewan yang mengontrol jumlah uang yang beredar terhadap mata uang lain, dan
juga diperbolehkannya beberapa entitas untuk mencetak uang kertas dan uang
logam. Disini Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki peran tersebut.
Selain itu Bank Indonesia memiliki beberapa wewenang yang merupakan hasil dari sharing of executive power. Maksudnya
untuk menghindarkan Bank Indonesia dari posisi yang dapat menimbulkan conflict of interest. Yaitu antara agen
program pemerintah dan pengelola kebijakan moneter. Kedua fungsi tersebut
memilki fungsi berbeda. Disatu sisi, pemerintah memiliki tujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan fiscal dan dilain pihak
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui
kebijakan moneternya.
Dalam konsep sharing
of executive power ini, maka
Pemerintah memegang otoritas fiskal (dan sektor riil), sedangkan Bank Indonesia
sebagai lembaga Negara yang memliki fungsi khusus, yaitu sebagai otoritas di
bidang moneter, perbankan, dan system pembayaran, dengan tujuan
menkonstruksikan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat yang tercermin dari
terjaganya kestabilan rupiah. fungsi ini diyakini tidak dapat berjalan dengan
baik apabila tercampur dengan ragam fungsi departemental pemerintahan yang
sarat dengan tarik menarik kepentingan politik dan seringkali berubah karena
mengandung faktor subyektifitas yang tinggi.
Dengan demikian, maka dengan adanya sharing of executive power ini, kekuasaan Pemerintah dalam
kebijakan ekonomi tidak terkonsentrasi. Hal
ini juga secara tegas tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa kekuasaan
Presiden selaku Kepala Pemerintahan “tidak termasuk kewenangan di bidang
moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang
diatur dengan undang-undang”
1.2 Pengertian Kebijakan Moneter,
Sistem Moneter Serta kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan
keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui
pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut
dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya
peningkatan output keseimbangan.
Yang termasuk dalam sistem moneter
adalah bank-bank atau lembaga-lembaga yang ikut menciptakan uang giral. Di
Indonesia yang dapat digolongkan ke dalam sistem moneter adalah otoritas
moneter yaitu Bank Indonesia dan bank-bank pencipta uang giral. Oleh karena itu
sistem perbankan merupakan bagian integral dari suatu sistem moneter.
Otoritas moneter sebagai lembaga
yang berwenang dalam pengambilan kebijakan di bidang moneter, juga merupakan
sumber uang primer, baik bagi perbankan, masyarakat maupun pemerintah. Di
samping mengeluarkan uang kartal, otoritas moneter juga menerima simpanan giro
dari perbankan atau pemerintah. Simpanan giro tersebut bagi otoritas moneter
merupakan uang primer sedangkan bagi bank-bank uang tersebut merupakan alat
likuid. Dalam kaitan tersebut semua bank diharuskan memiliki rekening giro pada
bank sentral dan mewajibkan setiap bank mempertahankan sejumlah tertentu dana
dalam rekening gironya tersebut di Bank Indonesia sebagai bank sentral. Fungsi
giro tersebut pada dasarnya adalah untuk memperlancar transaksi antarbank
melalui mekanisme kliring di samping sebagai alat kebijakan moneter dalam
rangka pengendalian jumlah uang beredar.
Saldo minimum yang wajib dipelihara
pada bank sentral pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari ketentuan cadangan
likuiditas wajib minimum yang dikenal sebagai statutory reserve
requirement. Ketentuan giro wajib minimum yang berlaku saat ini adalah
5% dari total dana masyarakat yang dihimpun bank.
v Fungsi
Otoritas Moneter
Fungsi pokok otoritas moneter diantara lain adalah sebagai
berikut:
a.
Menciptakan
uang kertas dan logam
b.
Menciptakan
uang primer
c.
Memelihara
cadangan devisa nasional
d.
Mengawasi
sistem moneter
v Fungsi
Sistem Moneter
Fungsi utama sistem moneter antara lain adalah sebagai
berikut:
a.
Menyelenggarakan
mekanisme lalu lintas pembayaran yang efisien sehingga mekanisme tersebut dapat
dilakukan secara cepat, akurat dan dengan biaya yang relatif kecil.
b.
Melakukan
fungsi intermediasi guna mempercepat pertumbuhan ekonomi.
c.
Menjaga
kestabilan tingkat bunga melalui pelaksanaan kebijakan moneter.
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan
moneter, yaitu antara lain :
1.
Operasi Pasar Terbuka
(Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2.
Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3.
Rasio Cadangan Wajib
(Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4.
Himbauan Moral (Moral
Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
v Arti Definisi /
Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
v Kebijakan Anggaran
/ Politik Anggaran :
i.
Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal
Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
ii.
Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal
Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
iii.
Anggaran Berimbang
(Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
1.3 Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), adalah lembaga yang independen
dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011. Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk
melakukan pengawasan secara ketat lemabaga keuangan seperti perbankan, pasar
modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.
v Fungsi Otoritas Jasa Keuangan adalah:
1) Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum
stabilitas keuangan
2) Menjaga stabilitas system keuangan
3) Melakukan pengawasan non bank dalam struktur yang sama
seperti sekarang
4) Pengawasan bank keluar dari otoritas bank Indonesia sebaga
bank sentral dan dipegang oleh lembaga baru.
v Tujuan dalam pembentukan Otoritas jasa Keuangan:
1) Untuk mencapainya, bank Indonesia dalam melaksanakan
kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
2) Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis.
3) Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki
sumber daya manusia dan ahli yang mencukupi.
1.4 Latar Belakang Terbentuknya
Otoritas Jasa keuangan
Otoritas
jasa keuangan merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan
pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal,
reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi.
Seperti
yang diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat system
keuangan Indonesia porak-poranda. Sejak itu maka lahirlah Otoritas Jasa
Keuangan yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002.
Meskipun Otoritas Jasa Keuangan dibidani berdasarkan kesepakatan dan
diamanatkan oleh undang-undang. Nyatanya sampai dengan tahun 2002 draf
pembentukan Otoritas jasa keuangan belum ada, sampai akhirnya UU No 23 1999
tentang Bank Indonesia tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan
tugas bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Setelah
lebih dari tiga tahun akhirnya siding paripurna DPR pada tanggal 19 Desember
2003 menyelesaikan amandemen undang-undang Bank Indonesia. Usulan amandemen ini
semula diajukan semasa pemerintahan presiden Gus Dur. Salah satu masalah
krusial yang memperlambat proses amandemen ini adalah menentukan siapa yang berwenang
mengawasi industry perbankan. Akhirnya terjadi tarik ulur antara bank Indonesia
dan pemerintah yang dalam kaitan ini diwakili oleh departemen keuangan. Karena
hal tersebut akhirnya diputuskan untuk membentuk Otoritas Jasa keuangan paling
lambat tahun 2010. Sebelum diamandemen bunyi ketentuannya adalah Lembaga
Pengawas jasa Keuangan (LPJK) yang kemudian menjadi OJK. Secara historis, ide
pembentukan Otoritas jasa Keuangan adalah hasil kompromi untuk menghindari
jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR.
1.5 Landasan Pembentukan dan Pengaturan
Otoritas Jasa Keuangan
awal
pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan dari beberapa
pihakdalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada 3 hal yang
melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yaitu perkembangan ndustri
sector jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industry jasa
keuangan dan amanat undang-undang no. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia
(pasal 34).
Pasal
34 undang-undang No.3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari
krisis asia yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat
terhadap Indonesia. Khususnya pada sector perbankan. Krisis pada pada tahun
1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang
mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia
terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung
diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka system keuangan yang lebih
tangguh. Reformasi di bidang hokum perbankan diharapkan menjadi obat penyembuh
krisis dan sekaligus menciptakan penangkal dalam pemikiran
permasalahan-permasalahn di masa depan.
Untuk
itu terbentuklah ide awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang sebenarnya
adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang
tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan
Habibie, pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang bank Indonesia
yang memberikan independensi kepada bank sentral. Rancangan undang-undang ini
di samping memberikan indepedensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawsan
perbankan dari bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari
bank sentral ini datang dari helmut Schlesinger, mantan gubernur Bundesbank
(bank sentral jerman) yang pada waktu penyusunan rancangan undang-undang
(kemudian menjadi undang-undang no.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia)
bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral jerman yang tidak mengawasi
bank. Di Jerman, pengawasan industry perbankan dilakukan oleh suatu badan
khusus yaitu Bundesaufiscuhtsamt fur da
kreditwesen. Pada waktu rancangan undang-undang tersebut diajukan muncul
penolakan yang kuat oleh kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi maka
disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan bank Indonesia dalam mengawasi
bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut
adalah memangkas kewenangan bank sentral. Nantinya Otoritas Jasa Keuangan akan
mengawasi seluruh industry jasa keuangan yang ada di Indonesia.
Usulan
untuk membagi kewenangan di bidang pengaturan dan pengawasan bank kepada 2
lembaga, yaitu bank Indonesia dan lembaga penyedia jasa keuangan atau dikenal
dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bentuk dari system ini merupakan hal baru
dalam sejarah perkembangan di bidang perbankan di Indonesia, mengingat bentuk
pengaturan dan pengawasan perbankan sebelumnya berada di dalam satu lembaga
saja, yaitu Bank Indonesia. Namun nantinya tugas mengawasi bank berada di
tangan Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam
undang-undang no.3 tahun 2004 tentang bank Indonesia ditetapkan bahwa Otoritas
Jasa Keuangan akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Namun sebelumnya
diamndemenkan undang-undang no.23 tahun 1999 tentang bank Indonesia menjadi
undang-undang no.3 tahun 2004 tentang bank Indonesia bunyi ketentuannya adalah
“Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa
Keuangan) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002”.
Tetapi
dalam penyusunan undang-undang Otoritas Jasa Keuangan terdapat masalah yang
harus diidentifikasi yang selanjutnya dikaji dan dianalisa kebaikan dan
kelemahannya, serta menelaah praktek-praktek dalam membentuk suatu lembaga
pengaturan dan pengawasan sector jasa keuangan. Dalam hal ini perlu
dipertimbangkan prinsip-prinsip untuk melakukan reformasi dan organisasi
lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sector jasa
keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan
kepentingan.