BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan banyak hal
yang harus diperhatikan untuk menciptakan mahasiswa yang berkualitas yang dapat
memahami pelajaran yang diberikan oleh dosen, terutama dalam hal sistem
pengajaran yang disampaikan oleh pengajar diruangan dalam bobot pelajaran yang
disampaikan. Namun masih kurangnya konsentrasi belajar mahasiswa khususnya di
kelas. Padahal konsentrasi sangat dibutuhkan dan mempengaruhi hasil belajar
yang dicapai. Konsentrasi belajar
merupakan suatu kefokusan diri pribadi mahasiswa terhadap mata kuliah ataupun
aktivitas belajar serta aktivitas perkuliahan. Dalam aktivitas perkuliahan
seharusnya dibutuhkan konsentrasi penuh, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan
dengan konsentrasi penuh kita akan mengerti dan memahami mata kuliah yang
diajarkan (Zakiah, 2013). Akan tetapi dalam kenyataan keseharian masih banyak
masalah kurangnya konsentrasi belajar mahasiswa di kelas. Faktor dari
permasalahan tersebut diantaranya adalah kurangnya manajemen waktu, kondisi
kesehatan, kurang minat terhadap mata kuliah, adanya masalah pribadi atau
masalah keluarga, dan cara penyampaian materi oleh dosen. Karena adanya faktor penyebab
tersebut pasti juga adanya dampak negative untuk mahasiswa sendiri (Wismandari,
2012).
Dampak negatif tersebut diantaranya
adalah kurangnya pemahaman terhadap mata kuliah, tidak memperhatikan pemaparan
materi di kelas, sikap cuek dengan situasi kelas, dan juga tidak memperhatikan
tugas yang diberikan. Oleh karena itu kecerdasan yang dimiliki oleh mahasiswa
sangat mempengaruhi bagaimana suatu materi yang disajikan dapat dipahami dan
diminati, terutama kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual (wismandari, 2012).
Pendidikan akuntansi khususnya
pendidikan tinggi akuntansi yang diselenggarakan di perguruan tinggi ditujukan
untuk mendidik mahasiswa agar dapat bekerja sebagai seorang akuntan profesional
yang memiliki pengetahuan di bidang akuntansi. Untuk dapat menghasilkan lulusan
yang berkualitas maka perguruan tinggi harus terus meningkatkan kualitas pada
sistem pendidikannya (Mawardi, 2011).
Pengetahuan yang dibutuhkan untuk
akuntan menurut hasil evolusi pendidikan terdiri dari pengetahuan umum,
organisasi, bisnis, dan akuntansi. Untuk memperoleh pengetahuan tersebut maka
pengetahuan tentang dasar-dasar akuntansi merupakan suatu kunci utama,
diharapkan dengan adanya dasar-dasar akuntansi sebagai pegangan, maka semua
praktik dan teori akuntansi akan dengan mudah dilaksanakan. Namun, kenyataannya
pendidikan akuntansi yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi hanya terkesan
sebagai pengetahuan yang berorientasi pada mekanisme secara umum saja, sangat
berbeda apabila dibandingkan dengan praktik yang sesungguhnya yang dihadapi di
dunia kerja nantinya. Masalah tersebut tentu saja akan mempersulit bahkan membingungkan
mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman akuntansi. Dengan demikian tingkat
pendidikan di perguruan tinggi masih menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan
yang diharapkan, padahal proses belajar mengajar pada pendidikan tinggi akuntansi
hendaknya dapat mentranformasikan peserta didik menjadi lulusan yang lebih utuh
sebagai manusia. (Mawardi, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa perubahan yang selama ini kita rasakan telah merubah pola kehidupan
generasi kita menjadi pribadi yang individual, materialis, dan cenderung
kapitalis. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak semua mereka yang
memiliki jabatan dan titel kesarjanaan yang tinggi memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun
menyakitkan.
Kebanyakan program pendidikan hanya
berpusat pada kecerdasan akal. Padahal yang diperlukan yaitu mengembangkan
kecerdasan hati seperti inisiatif, ketangguhan, optimisme dan kemampuan
beradaptasi. Penelitian – penelitian sebelumnya sependapat bahwa kecerdasan
emosional secara stimulan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa
akuntansi (Tikollah dkk, 2006) kecerdasan emosional berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi (Wirumananggay, 2008) dan
kecerdasan emosional secara parsial berpengaruh signifikan terhadap pemahaman
akuntansi (Yulianto, 2009).
Melandy dan Aziza (2006) dalam
Maslahah (2007) menyatakan hasil survei yang dilakukan di Amerika Serikat
tentang kecerdasan emosional menjelaskan bahwa apa yang diinginkan oleh pemberi
kerja tidak hanya keterampilan teknik saja melainkan dibutuhkan kemampuan dasar
untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan. Diantaranya adalah kemampuan
mendengar dan berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental
terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim, dan keinginan
memberi kontribusi terhadap perusahaan. Seseorang yang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi akan mampu mengendalikan emosinya sehingga dapat
menghasilkan optimalisasi pada fungsi kerjanya.
Kuliah dan pekerjaan merupakan dua
hal yang saling berkaitan.Banyak mahasiswa menempuh jalur kuliah untuk
mendapatkan titel kesarjanaan dan pada akhirnya titel kesarjanaan tersebut
digunakan untuk memenuhi salah satu syarat untuk dapat bekerja di suatu
perusahaan. Berdasarkan beberapa pengalaman penulis, banyak pencari kerja yang
mengeluh karena banyak mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
yang tinggi tetapi kepribadiannya kurang. Salah satu aspek kepribadian dapat
dilihat dari kecerdasan emosionalnya. Fakta-fakta inilah yang membuat penulis
tertarik untuk meneliti kecerdasan emosional mahasiswa akuntansi dalam
hubungannya dengan pemahaman mata kuliah akuntansi.
Selain kecerdasan emosional,
dibutuhkan juga kecerdasan spiritual. Seperti dalam penelitian Nugroho dalam Ananto,
(2010) menyatakan bahwa pembelajaran yang hanya berpusat pada kecerdasan
intelektual tanpa menyeimbangkan sisi spiritual akan menghasilkan generasi yang
mudah putus asa, depresi, suka tawuran bahwa menggunakan obat – obatan
terlarang sehingga bahwa banyak mahasiswa yang kurang menyadari tugasnya yaitu
tugas belajar. Kurangnya kecerdasan spiritual dalam diri seorang mahasiswa akan
mengakibatkan mahasiswa kurang termotivasi untuk belajar dan kurang
berkonsentrasi sehingga mahasiswa sulit untuk memahami suatu mata kuliah.
Mereka yang hanya mengejar prestasi atau angka dengan mengabaikan nilai
spiritual akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus
mereka cenderung untuk bersikap tidak jujur seperti mencontek saat ujian. Oleh
karena itu kecerdasan spiritual merupakan dasar untuk mendorong berfungsinya
secara efektif kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Kecerdasan spiritual dan kecerdasan
emosional pelaku belajar selama di perguruan tinggi juga mempengaruhi prestasi
akademik seorang mahasiswa. Kebiasaan atau perilaku belajar mahasiswa erat
kaitannya dengan penggunaan waktu yang baik maupun kegiatan lainnya. Roestiah
(dalam Hanifah dan Syukrih, 2010) berpendapat bahwa belajar yang efisien dapat
dicapai apabila dalam mengikuti perkuliahan, belajar dirumah, berkelompok atau
mengikuti ujian. Perilaku belajar yang baik terwujud apabila mahasiswa sadar
akan tanggung jawab mereka dengan baik antara belajar dengan kegiatan diluar
belajar. Motivasi dan disiplin sangat penting dalam hal ini karena memotivasi
merupakan perasaan taat dan patuh pada nilai – nilai yang di yakini dan
melakukan dengan tepat jika dirasa itu adalah sebuah tanggung jawab. Spiritual
mahasiswa akuntansi yang cerdas akan mampu membantu dalam memcahkan suatu
permasalahan dalam perkuliahan di program studi akuntansi.
Penelitian Ludigdo , dkk (2006)
menemukan bahwa kecerdasan spiritual secara parsial tidak berpengaruh terhadap
sikap etis mahasiswa akuntansi dan penlitian Yulianto (2009) menemukan bahwa
kecerdasan spiritual secara parsial tidak berpengaruh terhadap pemahaman
akuntansi. Pendidikan tinggi akuntansi bertanggung jawab mengembangkan
keterampilan mahasiswanya untuk memiliki tidak hanya kemampuan dan pengetahuan
dibidang akuntansi tetapi juga kemampuan lain yang diperlukan untuk berkarier
dilingkungan yang selalu berubah dan ketat persaingannnya.
Selain kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ), perilaku belajar selama di perguruan tinggi juga
mempengaruhi prestasi akademik seorang mahasiswa. Kebiasaan atau perilaku
belajar mahasiswa erat kaitannya dengan penggunaan waktu yang baik untuk
belajar maupun kegiatan lainnya. Roestiah (dalam Hanifah dan Syukriy, 2001)
bependapat bahwa, belajar yang efisien dapat dicapai apabila menggunakan
strategi yang tepat, yakni adanya pengaturan waktu yang baik dalam mengikuti
perkuliahan, belajar di rumah, berkelompok ataupun untuk mengikuti ujian.
Perilaku belajar yang baik dapat terwujud apabila mahasiswa sadar akan tanggung
jawab mereka sebagai mahasiswa, sehingga mereka dapat membagi waktu mereka
dengan baik antara belajar dengan kegiatan di luar belajar. Motivasi dan
disiplin diri sangat penting dalam hal ini karena motivasi merupakan arah bagi
pencapaian yang ingin diperoleh dan disiplin merupakan perasaan taat dan patuh
pada nilai-nilai yang diyakini dan melakukan pekerjaan dengan tepat jika dirasa
itu adalah sebuah tanggung jawab.
Penelitian ini mereplikasi
penelitian yang sudah dilakukan Fillia Rachmi (2010) yang meneliti tentang “Pengaruh
Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spritual, dan Perilaku Belajar terhadap
Tingkap Pemahaman Akuntansi”. Alasan peneliti mereplikasi penelitian Fillia
Rachmi (2010) adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil
penelitian yang pernah dilakukan dahulu dengan penelitian yang akan dilakukan
saat ini. Penelitian ini menggunakan sampel yang berbeda namun tidak ada
penambahan variable didalamnya. sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah mahasiswa tingkat akhir pada Universitas Mataram, STIE AMM, STIE 45
Mataram, dan STEKNAS Mataram. Alasan pemilihan sampel karena ingin mengetahui
perbedaan pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku
Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi dalam masing-masing universitas
yang ada di kota mataram. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini
berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku
Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi (Study Empiris Pada Universitas Mataram,
STIE AMM, STIE 45 Mataram, dan STEKNAS Mataram)”.
1.2 Rumusan Masalah
Kecerdasan
sangat penting bagi seorang lulusan akuntansi karena kecerdasan memandu seorang
untuk mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta untuk
menanggapinya dengan tepat menerapkan dengan efektif informasi dan energi dalam
kehidupan sehari – hari. Berdasarkan latar belakang di atas maka muncul rumusan
masalah :
1. Apakah
kecerdasan emosional berpengaruh terhadap tingkat pemahaman akuntansi?
2. Apakah
kecerdasan spiritual berpengaruh terhadap tingkat pemahaman akuntansi?
3. Apakah
perilaku belajar berpengaruh terhadap tingkat pemahaman akuntansi?
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai:
1.
Pengaruh kecerdasan emosional terhadap tingkat
pemahaman akuntansi
2.
Pengaruh kecerdasan spiritual terhadap tingkat
pemahaman akuntansi.
3.
Pengaruh perilaku belajar terhadap tingkat
pemahaman akuntansi.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini,
yaitu:
1.
Dapat memberikan masukan untuk lebih
mengembangkan sistem pendidikan jurusan akuntansi yang ada dalam rangka
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
2.
Dapat memberikan masukan kepada mahasiswa agar
dapat mengemabngkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ)
serta merubah perilaku belajar mahasiswa untuk pemahaman akuntansi yang baik.
3.
Dapat mengetahui bahwa bukan hanya kecerdasan
intelektual saja yang dibutuhkan agar dapat sukses berkarir, tetapi terdapat
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang dapat membuat seseorang
sukses.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Landasan Teori dan Penelitian
Terdahulu
2.1.1
Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional menurut Goleman
(2005) menyatakan bahwa kemampuan akademik bawaan, nilai rapor, dan prediksi
kelulusan pendidikan tinggi tidak memprediksi seberapa baik kinerja seseorang
sudah bekerja atau sebarapa tinggi sukses yang dicapainya dalam hidup. Goleman
(2005) menyatakan bahwa seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin
diri, dan inisiatif mampu membedakan orang sukses dari mereka yang berprestasi
biasa-biasa saja, selain kecerdasan akal yang mempengaruhi keberhasilan orang
dalam bekerja.
Goleman (2005) mendefinisikan
kecerdasan Emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan
perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Cooper dan Sawaf (1998) dalam Rachmi
(2010) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan,
memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi
menuntut seseorang untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri sendiri dan
orang lain serta menanggapinya dengan tepat dan menerapkan secara efektif
energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Wibowo dalam Melandy dan Aziza (2006)
menyatakan bahwa, kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk menggunakan
emosi sesuai dengan keinginan, kemampuan untuk mengendalikan emosi sehingga
memberikan dampak yang positif. Kecerdasan emosional dapat membantu membangun
hubungan dalam menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.
Howes dan Herald (1999) dalam Rachmi
(2010) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai komponen yang membuat
seseorang menjadi pintar menggunakan emosinya. Emosi manusia berada di wilayah
dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi dan sensasi emosi yang
apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional akan menyediakan pemahaman
yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Salovey dan Mayer dalam Melandy dan
Aziza (2006) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosi.
Dari beberapa pendapat di atas
dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar
mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk
menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
2.1.2 Komponen Kecerdasan Emosional
Goleman (2003) membagi kecerdasan
emosional menjadi lima bagian yaitu tiga komponen berupa kompetensi emosional
(pengenalan diri, pengendalian diri dan motivasi) dan dua komponen berupa
kompetensi sosial (empati dan keterampilan sosial). Lima komponen kecerdasan
emosional tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pengenalan
Diri (Self Awareness)
Pengenalan
diri adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya dan
digunakan untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolok ukur yang
realistis atas kemampuan diri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat.
Unsur-unsur kesadaran diri, yaitu:
a)
Kesadaran emosi (emosional awareness),
yaitu mengenali emosinya sendiri dan efeknya.
b)
Penilaian diri secara teliti (accurate self
awareness), yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
c)
Percaya diri (self confidence), yaitu
keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
2) Pengendalian
Diri (Self Regulation)
Pengendalian
diri adalah kemampuan menangani emosi diri sehingga berdampak positif pada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum
tercapainya suatu sasaran, dan mampu segera pulih dari tekanan emosi.
Unsur-unsur pengendalian diri, yaitu:
a)
Kendali diri (self-control), yaitu
mengelola emosi dan desakan hati yang merusak.
b)
Sifat dapat dipercaya (trustworthiness),
yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas.
c)
Kehati-hatian (conscientiousness), yaitu
bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
d)
Adaptabilitas (adaptability), yaitu
keluwesan dalam menghadapi perubahan.
e)
Inovasi (innovation), yaitu mudah
menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi
baru.
3) Motivasi
(Motivation)
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat agar setiap saat dapat
membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik, serta
mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif. Unsur-unsur motivasi,
yaitu:
a)
Dorongan prestasi (achievement drive),
yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
b)
Komitmen (commitmen), yaitu menyesuaikan
diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
c)
Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan
untuk memanfaatkan kesempatan.
d)
Optimisme (optimisme), yaitu kegigihan
dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
4) Empati
(Emphaty)
Empati
adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mampu memahami
perspektif orang lain dan menimbulkan hubungan saling percaya, serta mampu
menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. Unsur-unsur empati, yaitu:
a)
Memahami orang lain (understanding others),
yaitu mengindra perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif
terhadap kepentingan mereka.
b)
Mengembangkan orang lain (developing other),
yaitu merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan
kemampuan orang lain.
c)
Orientasi pelayanan (service orientation),
yaitu mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
d)
Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity),
yaitu menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang.
e)
Kesadaran politis (political awareness),
yaitu mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok dan hubungannya dengan
perasaan.
5) Ketrampilan
Sosial (Social Skills)
Ketrampilan
sosial adalah kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelasaikan
perselisihan, dan bekerjasama dalam tim. Unsur-unsur ketrampilan sosial, yaitu:
a)
Pengaruh (influence), yaitu memiliki
taktik untuk melakukan persuasi.
b)
Komunikasi (communication), yaitu
mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
c)
Manajemen konflik (conflict management),
yaitu negoisasi dan pemecahan silang pendapat.
d)
Kepemimpinan (leadership), yaitu
membangitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang lain.
e)
Katalisator perubahan (change catalyst),
yaitu memulai dan mengelola perusahaan.
f)
Membangun hubungan (building bond), yaitu
menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
g)
Kolaborasi dan kooperasi (collaboration and
cooperation), yaitu kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
h)
Kemampuan tim (tim capabilities), yaitu
menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
2.2
Kecerdasan Spiritual
2.2.1
Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual ditemukan oleh
Danah Zohar dan Ian Marshall pada pertengahan tahun 2000. Zohar dan Marshall
(2001) menegaskan bahwa kecerdasan spiritual adalah landasan untuk membangun
kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. Spiritual berasal dari bahasa
Latin spiritus yang berati prinsip yang memvitalisasi suatu organisme.
Sedangkan, spiritual berasal dari bahasa Latin sapientia (sophia) dalam bahasa Yunani yang
berati ’kearifan’ (Zohar dan Marshall, 2001). Zohar dan Marshall
(2001) menjelaskan bahwa spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan
seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat
memiliki spiritualitas tinggi. Kecerdasan spiritual lebih berkaitan dengan
pencerahan jiwa. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai
hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan
penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif akan mampu
membangkitkan jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Sinetar (2000) dalam Rachmi (2010)
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pikiran yang mendapat inspirasi,
dorongan, efektivitas yang terinspirasi, dan penghayatan ketuhanan yang semua
manusia menjadi bagian di dalamnya.
Menurut Khavari (2000) dalam Rachmi
(2010) kecerdasan spiritual sebagai fakultas dimensi non-material atau jiwa
manusia. Kecerdasan spiritual sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki
oleh setiap insan. Manusia harus mengenali seperti adanya lalu menggosoknya
sehingga mengkilap dengan tekad yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan
untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.
Menurut Abdul Wahab & Umiarso
(2011 : 52) dalam Panangian (2012) Kecerdasan Spritual adalah kecerdasan yang
sudah ada dalam setiap manusia sejak lahir yang membuat manusia menjalani hidup
penuh makna, selalu mendengarkan suara hati nuraninya, tak pernah merasa
sia-sia, semua yang dijalaninya selalu bernilai.
Zohar dan Marshall (2002) dalam
Ludigdo dkk (2006) menyatakan bahwa Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan
perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta
menilai bahwa tindakan atau hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan
yang lain. Kecerdasan spiritual tidak mesti berhubungan dengan agama.
Kecerdasan spiritual mendahului seluruh nilai spesifik dan budaya manapun,
serta mendahului bentuk ekspresi agama manapun yang pernah ada. Namun bagi
sebagian orang mungkin menemukan cara pengungkapan kecerdasan spiritual melalui
agama formal sehingga membuat agama menjadi perlu.
Ginanjar (2001) dalam Rachmi (2010)
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan untuk memberi makna
ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan
pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola
pemikiran integralistik, serta berprinsip hanya karena Allah.
Menurut Ginanjar (2005:47)
kecerdasan Spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap
pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ dan SQ
secara komprehensif.
v Prinsip-
prinsip kecerdasan spiritual menurut Agustian (2001) dalam Rachmi (2010),
yaitu:
a) Prinsip
Bintang
Prinsip bintang adalah prinsip yang
berdasarkan iman kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Semua tindakan yang dilakukan
hanya untuk Tuhan dan tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya
sendiri.
b) Prinsip
Malaikat (Kepercayaan)
Prinsip malaikat adalah prinsip
berdasarkan iman kepada Malaikat. Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan
baik sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Tuhan untuk menjalankan
segala perintah Tuhan yang Maha Kuasa.
c) Prinsip
Kepemimpinan
Prinsip kepemimpinan adalah pada Agama
Islam yaitu prinsip berdasarkan iman kepada Rasullullah SAW. Seorang pemimpin
harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati.
Seperti Rasullullah SAW adalah seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh
semua orang.
d) Prinsip
Pembelajaran
Prinsip pembelajaran adalah prinsip
berdasarkan iman kepada kitab. Suka membaca dan belajar untuk menambah
pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala
hal dan menjadikan kitab suci sebagai pedoman dalam bertindak.
e) Prinsip
Masa Depan
Prinsip
masa depan adalah prinsip yang berdasarkan iman kepada ”hari akhir”. Berorientasi
terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang, disertai keyakinan
akan adanya ”hari akhir” dimana setiap individu akan mendapat
balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
f) Prinsip
Keteraturan
Prinsip
keteraturan merupakan prinsip berdasarkan iman kepada ”ketentuan Tuhan”.
Membuat semuanya serba teratur dengan menyusun rencana atau
tujuan secara jelas. Melaksanakan dengan disiplin karena kesadaran sendiri,
bukan karena orang lain.
Dapat ditarik kesimpulan dari
beberapa definisi diatas bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia
memaknai bagaimana arti dari kehidupan serta memahami nilai tersebut dari
setiap perbuatan yang dilakukan dan kemampuan potensial setiap manusia yang
menjadikan seseorang dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta
cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup karena merasa
sebagai bagian dari keseluruhan, sehingga membuat manusia dapat menempatkan
diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan
kebahagiaan yang hakiki.
2.2.2
Komponen Kecerdasan Spiritual
Zohar dan Marshall (2005 : 14)
menguji SQ dengan hal-hal berikut:
1. Kemampuan
bersikap fleksibel yaitu mampu menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk
mencapai hasil yang baik, memiliki pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan),
dan efisien tentang realitas. Unsur-usur bersikap fleksibel yaitu mampu
menempatkan diri dan dapat menerima pendapat orang lain secara terbuka.
2. kesadaran
diri yang tinggi, yaitu adanya kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa
menyadari berbagai situasi yang datang dan menanggapinya. Unsur-unsur kesadaran
diri yang tinggi yaitu kemampuan autocritism dan mengetahui tujuan dan visi
hidup.
3. Kemampuan
untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan yaitu tetap tegar dalam
menghadapi musibah serta mengambil hikmah dari setiap masalah itu. Unsur-unsur
kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan yaitu tidak ada
penyesalan, tetap tersenyum dan bersikap tenang dan berdoa.
4. Kemampuan
untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit yaitu seseorang yang tidak ingin
menambah masalah serta kebencian terhadap sesama sehingga mereka berusaha untuk
menahan amarah. Unsur-unsur kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
yaitu ikhlas dan pemaaf.
5. Keengganan
untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu yaitu selalu berfikir sebelum
bertindak agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan. Unsur-unsur keengganan
untuk menyebabkan kerugian tidak menunda pekerjaan dan berpikir sebelum
bertindak.
6. Kualitas
hidup yaitu memiliki pemahaman tentang tujuan hidup dan memiliki kualitas hidup
yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai. Unsur-unsur kualitas hidup yaitu,
prinsip dan pegangan hidup dan berpijak pada kebenaran.
7. Berpandangan
Holistik yaitu melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan
bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang
lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan, melampaui kesengsaraan
dan rasa sehat, serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna
dibaliknya. Unsur-unsur berpandangan holistik yaitu kemampuan berfikir logis
dan berlaku sesuai norma sosial.
8. Kecenderungan
bertanya yaitu kecenderungan nyata untuk bertanya mengapa atau bagaimana jika
untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar unsur-unsur kecenderungan bertanya
yaitu kemampuan berimajinasi dan keingintahuan yang tinggi.
9. Bidang
mandiri yaitu yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi, seperti:
mau memberi dan tidak mau menerima.
2.3. Pemahaman Akuntansi
2.3.1. Pengertian Akuntansi
Tidak ada
definisi yang cukup umum untuk dapat menjelaskan apa sebenarnya akuntansi itu.
Oleh karena itu banyak definisi yang diajukan oleh para ahli atau buku teks
tentang pengertian akuntansi.
Menurut
Swastha dan Sukotjo (2002:314) Akuntansi adalah pencatatan, penggolongan, dan
peringkasan transaksi bisnis, serta penginterprestasian informasi yang telah
disusun.
Menurut
Harap (2007:5) akuntansi adalah proses mengidentifikasian, mengukur dan
menyampaiakn informasi ekonomi sebagai bahan informasi dalam hal ini
mempertimbangkan berbagai alternative dalam mengambil kesimpulan oleh para
pemakainya.
Dari
beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa akuntansi adalah seni
pencatatan, penggolongan, dan peringkasan transaksi bisnis yang digunakan
sebagai bahan informasi dalam hal mempertimbangkan berbagai alternative dalam
mengambil kesimpulan.
2.3.2 Pengertian Pemahaman Akuntansi
Paham
dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti pandai atau mengerti benar
sedangkan pemahaman adalah proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan.
Menurut
Melandy dan Aziza (2006:9) seseorang yang memiliki pemahaman akuntansi adalah
seseorang yang pandai dan mengerti benar akuntansi.
Menurut
Mardahlena (2007:25) tingkat pemahaman akuntansi mahasiswa dinyatakan dengan
seberapa mengerti seseorang mahasiswa terhadap apa yang sudah dipelajari yang
dalam konteks ini mengacu pada mata kuliah akuntansi.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat
disimpulkan yang dimaksud dengan pemahaman akuntansi adalah proses atau cara
mahasiswa jurusan akuntansi dalam memahami mata kuliah akuntansi.
2.3.3
Dimensi dan Indikator Pemahaman Akuntansi
Dalam
pemahaman ini, pemahaman akuntansi diukur dengan menggunakan nilai matakuliah
akuntansi yaitu:
1. Pengantar
Akuntansi I
2. Pengantar
Akuntansi II
3. Akuntansi
Keuangan I
4. Akuntansi
Keuangan II
5. Akuntansi
Keuangan Lanjutan I
6. Akuntansi
Keuangan Lanjutan II
7. Akuntansi
Manajemen
8. Teori
Akuntansi
Tabel
2.1
Dimensi
dan Indikator Pemahaman Akuntansi
Dimensi
|
Indikator
|
Nilai MataKuliah Akuntansi
|
Pengantar Akuntansi I
|
Pengantar Akuntansi II
|
Akuntansi Keuangan I
|
Akuntansi Keuangan II
|
Akuntansi Keuangan Lanjutan I
|
Akuntansi Keuangan Lanjutan II
|
Akuntansi Manajemen
|
Teori Akuntansi
|
Sumber
: diolah sendiri
2.4
Penelitian Terdahulu
Rachmi (2010) yang meneliti tentang
Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual dan Perilaku Belajar
Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi dengan sampel pada Mahasiswa Akuntansi
Universitas Diponegoro Semarang dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hasil
pengujian hipotesis mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual dan perilaku belajar berpengaruh terhadap pemahaman akuntansi.
Trisnawati dan Suryaningrum (2003)
melakukan penelitian Tentang Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat
Pemahaman Akuntansi dengan sampel mahasiswa akhir akuntansi yang telah menempuh
120 SKS pada beberapa Universitas di Yogyakarta. Dari hasil temuannya bahwa
pengaruh kecerdasan emosional secara statistis tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap pemahaman akuntansi.
Trikollah, Triyuwono, dan Ludigdo
(2006) dengan judul Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, Dan
Kecerdasan Spritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi dengan sampel
penelitian mahasiswa akuntansi di Universitas Negeri Makassar dan Universitas
Hasanuddin di kota Makassar dengan menggunakan alat analisis regresi linear
berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual
berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi sedangkan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual tidak berpengaruh terhadap sikap
etis mahasiswa akuntansi.
Yani (2011) meneliti tentang
Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosionaldan Kecerdasan Spiritual
Terhadap Pemahaman Akuntansi. Dengan sampel penelitian ini berdasarkan
banyaknya mahasiswa program studi pendidikan ekonomi-akuntansi Universitas Riau
angkatan tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011. Peneliti ini menemukan bahwa
kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, berpengaruh terhadap pemahaman
akuntansi dan kecerdasan spiritual tidak berpengaruh terhadap pemahaman
akuntansi.
Lesmana (2010) dengan judul Pengaruh
Kecerdasan Emosional, Dan Kepercayaan Diri Terhadap Tingkat Pemahaman
Akuntansi. Dengan sampel Mahasiswa S1 Jurusan Akuntansi Universitas Jember,
Universitas Muhammadiyah, STIE Mandala yang sudah menempuh 120 SKS pada
angkatan tahun 2005-2007. Hasil penelitian dengan menggunakan uji parsial dan
uji simultan menunjukkan kepercayaan diri, kecerdasan emosional berpengaruh
terhadap pemahaman akuntansi.
Dwijayanti (2009) meneliti Pengaruh
Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual, dan
Kecerdasan Sosial terhadap tingkat pemahaman akuntansi dengan sampel perguruan
tinggi berada di wilayah Jakarta Selatan yaitu di ABFII Perbanas, Universitas
Pancasila, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara parsial kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial berpengaruh
terhadap pemahaman akuntansi sedangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan
spiritual tidak berpengaruh terhadap pemahaman akuntansi. Sedangkan secara
simultan kecerdasan emosional. Kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual,
dan kecerdasan social berpengaruh secara signifikan terhadap pemahaman
akuntansi.
Idrus (2003) meneliti Kecerdasan
Spiritual Mahasiswa Yogyakarta. Dengan sampel seluruh mahasiswa perguruan
tinggi di Yogyakarta. Dengan menggunakan penelitian kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Perguruan tinggi yang diambil mahasiswa
berpengaruh terhadap kecerdasan spiritual seseorang. Melandy dan Aziza (2006).
meneliti Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Pemahamn Akuntansi, Kepercayaan
Diri sebagai Variabel Pemoderasi dengan Sampel Mahasiswa Akhir Akuntansi pada
beberapa perguruan tinggi negeri yang ada di propinsi bengkulu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terlihat adanya perbedaan pengenalan diri dan
motivasi antara mahasiswa yang memiliki kepercayaan diri kuat dengan mahasiswa
yang memiliki kepercayaan diri lemah, sedangkan untuk variable pengendalian
diri, empati, dan keterampilan sosial tidak terdapat perbedaan.
Trihandini (2005). Meneliti Analisis
Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual
Terhadap Kinerja Karyawan studi kasus di Hotel Horison Semarang dengan sampel
menggunakan teknik pengambilan sampel berupa random sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan
Spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
2.5
Kerangka Konseptual
Kerangka pemikiran teoritis dalam
penelitian ini adalah tentang pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap pemahaman akuntansi. Untuk
pengembangan hipotesis, kerangka pemikiran teoritis ini dapat dilihat pada
gambar 2.2. Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah variable
independen, yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan Perilaku
Belajar. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pemahaman akuntansi.
Gambar 2.2 Kerangka
Konseptual
Kecerdasan
Emosional (X1)
|
2.6 Pengembangan Hipotesis
2.6.1
Kecerdasan Emosional Terhadap Pemahaman
Akuntansi
Kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur
keadaan jiwa (Goleman, 2003). Dengan kecerdasan emosional, seseorang mampu
mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca
dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Seseorang dengan
keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan
berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi (Rachmi,
2010). Kecerdasan emosional mahasiswa memiliki pengaruh terhadap prestasi
belajar mahasiswa. Kecerdasan emosional ini mampu melatih kemampuan untuk
mengelola perasaannya, kemampuan untuk memotivasi dirinya, kesanggupan untuk
tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan mengendalikan dorongan dan menunda
kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan
bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan ini yang mendukung seorang mahasiswa
dalam mencapai tujuan dan cita-citanya (Lesmana, 2010).
Penelitian oleh Dwijayanti (2009)
yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh terhadap pemahaman
akuntansi. Hasil tersebut di dukung oleh Rachmi (2010) yang menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional berpengaruh terhadap pemahaman akuntansi Oleh karena itu,
kecerdasan emosional ditandai oleh kemampuan pengenalan diri, pengendalian
diri, motivasi diri, empati, dan kemampuan sosial akan mempengaruhi perilaku
belajar mahasiswa yang nantinya juga mempengaruhi seberapa besar mahasiswa
dalam memahami akuntansi. Dalam uraian di atas dapat ditarik hipotesis sebagai
berikut:
H1:
Kecerdasan emosional berpengaruh terhadap pemahaman akuntansi.
2.6.2
Kecerdasan Spiritual Terhadap Pemahaman
Akuntansi
Seseorang menggunakan kecerdasan
spiritual untuk bergulat dengan hal baik dan jahat, serta untuk membayangkan
kemungkinan yang belum terwujud untuk bermimpi, bercita-cita dan mengangkat
diri dari kerendahan (Zohar dan Marshall, 2005: 4).
Kecerdasan spiritual adalah landasan
yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional secara efektif. Kecerdasan spiritual yang baik dapat dilihat dari
ketuhanan, kepercayaan, kepemimpinan pembelajaran, berorientasi masa depan, dan
keteraturan. Oleh karena itu, mahasiswa yang memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi, memiliki ketenangan hati dan selalu yakin bahwa sesuatu yang
dilaksanakan di imbangi dengan berdoa akan lebih percaya diri untuk belajar
sehingga akan mudah memahami suatu materi yang dipelajari (Rachmi, 2010).
Penelitian oleh Rachmi (2010) yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual
berpengaruh terhadap pemahaman akuntansi.
Dengan penjelasan tersebut maka,
spiritualis mahasiswa akuntansi yang cerdas akan mampu membantu dalam pemecahan
permasalahan dalam memahami akuntansi sehingga mahasiswa dapat bersikap tenang
dalam menghadapi masalah-masalah kendala-kendala dalam proses pemahaman
akuntansi. Dalam uraian di atas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:
H2:
Kecerdasan Spiritual berpengaruh terhadap pemahaman akuntansi
2.6.3 Perilaku Belajar dan Tingkat Pemahaman
Akuntansi
Belajar adalah sebuah proses yang
dilakukan seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi
mengerti, dan sebagainya, untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang lebih
baik secara keseluruhan akibat interaksinya dengan lingkungannya. Rampengan
(dalam hanifah dan syukriy, 2001) mengungkapkan bahwa dalam proses belajar diperlukan
perilaku belajar yang sesuai dengan tujuan pendidikan, dimana dengan perilaku
belajar tersebut tujuan pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efisien,
sehingga prestasi akademik dapat di tingkatkan. Hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku belajar yang baik dapat dilihat dari kebiasaan mengikuti pelajaran,
kebiasaan membaca buku, kunjungan ke perpustakaan dan kebiasaan menghadapai
ujian (Marita dkk, 2008). Oleh karena itu, dengan perilaku belajar yang baik
akan mengarah pada pemahaman terhadap pelajaran yang maksimal. Sebaliknya,
dampak dari perilaku belajar belajar yg jelek akan mengarah pada pemahaman
terhadap pelajaran yang kurang maksimal. Maka dari uraian diatas dapat ditari
hipotesis sebagai berikut :
H3:
Perilaku belajar mahasiswa akuntansi (kebiasaan mengikuti pelajaran, kebiasaan
membaca buku, kunjungan ke perpustakaan, kebiasaan menghadapi ujian)
berpengaruh positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Variabel
Penelitian dan Definisi Operasional
3.1.1
Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat 2
jenis variabel, yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel
independen merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Berdasarkan landasan
teori dan perumusan hipotesis yang ada maka yang menjadi variabel independen
dalam penelitian ini adalah:
i.
Kecerdasan emosional (EQ) yang terdiri dari
pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan kemampuan
sosial.
ii.
Kecerdasan spiritual (SQ) yang terdiri
dari prinsip ketuhanan, kepercayaan yang teguh, berjiwa kepemimpinan, berjiwa
pembelajar, berorientasi masa depan dan prinsip keteraturan.
iii.
Perilaku belajar yang terdiri dari kebiasaan
mengikuti pelajaran, kebiasaan membaca buku, kunjungan ke perpustakaan, dan
kebiasaan menghadapi ujian.
Variabel dependen adalah variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Maka
berdasarkan landasan teori dan perumusan hipotesis yang ada, yang menjadi
variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat pemahaman akuntansi.
3.1.2 Definisi Operasional
Definisi operasional variabel adalah
penentuan variabel sehingga menjadi variabel yang dapat diukur. Definisi
operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan oleh peneliti dalam
mengoperasionalisasikan variabel sehingga memungkinkan peneliti yang lain untuk
melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau mengembangkan cara
pengukuran variabel yang lebih baik. (Indriantoro dan Supomo, 1999). Berdasarkan model analisis, maka
variabel-variabel yang digunakan dalam pengukuran penelitian ini adalah:
1. Variabel
Independen (X)
1.Kecerdasan
emosional (X1)
Kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan
kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Alat ukur yang
digunakan untuk mengukur variabel kecerdasan emosional adalah dengan
menggunakan kuisoner yang diadopsi dari Melandy dan Aziza (2006), yang
dikembangkan menjadi 5 dimensi yaitu:
i.
Pengenalan Diri
Instrumen
yang digunakan dalam pengenalan diri berupa kuesioner yang diajukan kepada
responden sebanyak lima pernyataan, yang meliputi tentang bagaimana responden
mengenal dirinya sendiri. Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari
sangat tidak sesuai (point 1) sampai dengan sangat sesuai (point 5).
ii.
Pengendalian Diri
Instrumen
yang digunakan dalam pengendalian diri berupa kuesioner yang diajukan kepada
responden sebanyak enam pernyataan, yang meliputi tentang sikap hati-hati dan
cerdas dalam mengatur emosi diri sendiri. Instrumen ini menggunakan lima skala
likert dari sangat tidak sesuai (point 1) sampai dengan sangat sesuai (point
5).
iii.
Motivasi
Instrumen
yang digunakan dalam motivasi berupa kuesioner yang diajukan kepada responden
sebanyak lima pernyataan, yang meliputi sikap yang menjadi pendorong timbulnya
suatu perilaku. Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari sangat tidak
sesuai (point 1) sampai dengan sangat sesuai (point 5).
iv.
Empati
Instrumen
yang digunakan dalam empati berupa kuesioner yang diajukan kepada responden
sebanyak tujuh pernyataan, yang meliputi kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain. Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari sangat
tidak sesuai (point 1) sampai dengan sangat sesuai (point 5).
v.
Ketrampilan Sosial
Instrumen
yang digunakan dalam ketrampilan sosial berupa kuesioner yang diajukan kepada
responden sebanyak enam pernyataan, yang meliputi kemampuan menangani emosi
ketika berhubungan dengan orang lain. Instrumen ini menggunakan lima skala
likert dari sangat tidak sesuai (point 1) sampai dengan sangat sesuai (point
5).
2.Kecerdasan Spiritual
(X2)
Kecerdasan
spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Alat ukur yang digunakan untuk
mengukur variabel kecerdasan spiritual adalah dengan menggunakan kuesioner yang
diadopsi dari Hersan Ananto (2008). Instrumen SQ dalam penelitian ini
dikembangkan menjadi 5 dimensi yaitu:
Ø
Prinsip Ketuhanan
Instrumen
yang digunakan dalam prinsip ketuhanan berupa kuesioner yang diajukan kepada
responden sebanyak delapan pernyataan, yang meliputi kepercayaan atau keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ini berlaku di Indonesia, karena Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,
prinsip ini bisa tidak berlaku pada Negara Komunis yang terdapat warganya
menganut atheis. Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari sangat tidak
pernah (point 1) sampai dengan selalu (point 5)
Ø
Kepercayaan yang Teguh
Instrumen
yang digunakan dalam kepercayaan yang teguh berupa kuesioner yang diajukan
kepada responden sebanyak empat pernyataan, yang meliputi bagaimana responden
mengerjakan tugas dengan disiplin dan sebaik-baiknya. Instrumen ini menggunakan
lima skala likert dari sangat tidak pernah (point 1) sampai dengan
selalu (point 5).
Ø
Berjiwa Kepemimpinan
Instrumen
yang digunakan dalam berjiwa kepemimpinan berupa kuesioner yang diajukan kepada
responden sebanyak 10 pernyataan, yang meliputi prinsip yang teguh agar mampu
menjadi pemimpin yang sejati. Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari
sangat tidak pernah (point 1) sampai dengan selalu (point 5).
Ø
Berjiwa Pembelajar
Instrumen
yang digunakan dalam berjiwa pembelajar berupa kuesioner yang diajukan kepada
responden sebanyak lima pernyataan, yang meliputi keinginan seseorang untuk
terus belajar. Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari sangat tidak
pernah (point 1) sampai dengan selalu (point 5).
Ø
Berorientasi Masa Depan
Instrumen
yang digunakan dalam berorientasi masa depan berupa kuesioner yang diajukan
kepada responden sebanyak tujuh pernyataan, yang meliputi orientatasi tujuan
hidup baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Instrumen ini
menggunakan lima skala likert dari sangat tidak pernah (point 1) sampai
dengan selalu (point 5).
Ø
Prinsip Keteraturan
Instrumen
yang digunakan dalam prinsip keteraturan berupa kuesioner yang diajukan kepada
responden sebanyak lima pernyataan, yang meliputi menyusun rencana atau tujuan
dengan jelas. Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari sangat tidak
pernah (point 1) sampai dengan selalu (point 5).
3.
Perilaku Belajar (X3)
Perilaku
belajar sering juga disebut kebiasaan belajar, merupakan dimensi belajar yang
dilakukan individu secara berulang-ulang sehingga menjadi otomatis dan spontan.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel perilaku belajar adalah dengan
menggunakan kuisioner yang diadopsi dari Suryaningsum dkk (2008), yang
dikembangkan menjadi 4 dimensi, yaitu:
Ø
Kebiasaan Mengikuti Pelajaran
Instrumen
yang digunakan dalam kebiasaan mengikuti pelajaran berupa kuesioner yang
diajukan kepada responden sebanyak lima pernyataan, yang meliputi seberapa
besar perhatian dan keaktifan seorang mahasiswa dalam belajar. Instrumen ini
menggunakan lima skala likert dari sangat tidak sesuai (point 1) sampai
dengan sangat sesuai (point 5)
Ø
Kebiasaan Membaca Buku
Instrumen
yang digunakan dalam kebiasaan membaca buku berupa kuesioner yang diajukan
kepada responden sebanyak lima pernyataan, yang meliputi berapa banyak buku
yang dibaca dan jenis bacaan apa saja yang mahasiswa baca setiap harinya.
Instrumen ini menggunakan lima skala likert dari sangat tidak sesuai (point 1)
sampai dengan sangat sesuai (point 5).
Ø
Kunjungan ke Perpustakaan
Instrumen
yang digunakan dalam kunjungan ke perpustakaan berupa kuesioner yang diajukan
kepada responden sebanyak lima pernyataan, yang meliputi seberapa sering
mahasiswa ke perpustakaan setiap minggunya. Instrumen ini menggunakan lima
skala likert dari sangat tidak sesuai (point 1) sampai dengan sangat
sesuai (point 5).
Ø
Kebiasaan Menghadapi Ujian
Instrumen
yang digunakan dalam kebiasaan menghadapi ujian berupa kuesioner yang diajukan
kepada responden sebanyak tiga pernyataan, yang meliputi bagaimana persiapan
mahasiswa dalam menghadapi ujian. Instrumen ini menggunakan lima skala likert
dari sangat tidak sesuai (point 1) sampai dengan sangat sesuai (point
5).
2.
Variabel
Dependen (Y)
Variabel dependen dalam penelitian
ini adalah tingkat pemahaman akuntansi. Pemahaman akuntansi yaitu merupakan
tingkat kemampuan seseorang untukmengenal dan mengerti tentang akuntansi. Untuk
mengukur tingkat pemahaman akuntansi menggunakan rata-rata nilai mata kuliah
yang berkaitan dengan akuntansi yaitu pengantar akuntansi 1, pengantar
akuntansi 2, akuntansi keuangan menengah 1, akuntansi keuangan menengah 2,
akuntasi keuangan lanjutan 1, akuntansi keuangan lanjutan 2, Auditing 1,
Auditing 2 dan teori akuntansi.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan kelompok
yang terdiri dari orang, peristiwa atau sesuatu yang ingin diselidiki oleh
peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 angkatan 2004,
2005, dan 2006 atau mahasiswa akuntansi tingkat akhir yang telah menempuh 120
sistem kredit semester karena mahasiswa angkatan tersebut sudah mengalami
proses pembelajaran yang lama dan telah mendapat manfaat maksimal dari
pengajaran akuntansi.
Sampel
adalah sebagian dari populasi. Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa dari Universitas
Mataram, STIE AMM, STIE 45 Mataram, dan STEKNAS Mataram. Alasan pemilihan
sampel ini karena ingin mengetahui perbedaan pengaruh Kecerdasan Emosional,
Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi
dalam masing-masing universitas yang ada di kota mataram.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini jenis data yang
digunakan adalah jenis data subyek. Data subyek adalah jenis data penelitian
yang berupa opini, sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau
sekelompok orang yang menjadi subyek penelitian atau responden (Indriantoro dan
Supomo, 1999). Sedangkan, untuk sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer yaitu sumber data yang diperoleh dari responden melalui
kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan untuk memperoleh data diri responden
dan penilaian kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan perilaku belajar
terhadap tingkat pemahaman akuntansi.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode survey. Metode survey merupakan metode
pengumpulan data primer yang menggunakan pertanyaan lisan dan tertulis. Metode
ini memerlukan adanya kontak atau hubungan antara peneliti dengan subyek
(responden) penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan (Indriantoro dan
Supomo, 1999)
Penyebaran
kuesioner disebarkan dengan survey langsung yaitu mendatangi satu per satu
calon responden, melihat apakah calon memenuhi persyaratan sebagai calon
responden, lalu menanyakan kesediaan untuk mengisi kuesioner. Prosedur ini
penting dilaksanakan karena peneliti ingin menjaga agar kuesioner hanya diisi
oleh responden yang memenuhi syarat dan bersedia mengisi dengan kesungguhan.
3.5 Metode Analisis
Analisis data dilakukan dengan
menggunakan bantuan program komputer yaitu SPSS (Statistical Package For
Social Science). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
analisis regresi berganda. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk
mengetahui pengaruh Kecerdasan Emosional (X1), Kecerdasan Spiritual (X2) dan
Perilaku Belajar (X3) terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi (rata-rata nilai)
(Y). Rumus regresi yang digunakan adalah
Y= b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3
+ e
Dalam hal ini
adalah :
b0 =
Konstanta
X1 = Kecerdasan
Emosional (EQ)
X2 = Kecerdasan
Spiritual (SQ)
X3 = Perilaku
Belajar
Y = Rata-rata
nilai
b1, b2,
b3 = Koefisien regresi untuk X1, X2, X3
e = error term
3.5.1 Uji Kualitas Data
3.1.5.1 Uji
Validitas
Uji validitas digunakan untuk
mengukur sah atau valid tidaknya suatu kouesioner. Suatu kuesioner dikatakan
valid jika pernyataan pada kuesioner mampu mengunkapkan sesuatu yang akan
diukur oleh kuesioner tersebut. Dalam penelitian ini pengukuran validitas
dilakukan dengan melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total
skor konstruk atau variabel.
3.5.1.2 Uji
Reliabilitas
Uji realibilatas adalah alat untuk
mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk.
Suatu kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap
pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Dalam penelitian
ini menggunakan “One Shot” atau pengukuran sekali saja yaitu pengukurannya
hanya sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pernyataan lain atau
mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan. Suatu konstruk atau variabel
dikatakan reliable jika memberikan nilai Cronbach Alpha > 0.60 (Nunnally
1960, dalam Ghozali 2006).
3.5.2 Uji Asumsi Klasik
3.5.2.1 Uji
Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk
melihat apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya
mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah model
regresi yang berdistribusi normal.
3.5.2.2 Uji
Heterokedastisitas
Uji
heterokedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
Untuk melakukan pengujian terhadap asumsi ini dilakukan dengan menggunakan
analisis dengan grafik plots. Dasar analisis:
a.
Dengan melihat apakah titik-titik memiliki pola
tertentu yang teratur seperti bergelombang, melebar kemudian menyempit, jika
terjadi makan mengindikasikan terdapat heterokedastisitas.
b.
jika tidak terdapat pola tertentu yang jelas, serta
titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 10 pada sumbu Y maka
mengindikasikan tidak terjadi heterokedastisitas.
3.5.2.3 Uji
Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan
untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel
bebas. Model uji regresi yang baik selayaknya tidak terjadi multikolinearitas.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas:
Ø Nilai
R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris yang sangat
tinggi, tetapi secara individual variabel bebas banyak yang tidak signifikan
mempengaruhi variabel terikat.
Ø Menganalisis
korelasi antar variabel bebas. Jika antar variabel bebas ada korelasi yang
cukup tinggi > 0,90 maka hal ini merupakan indikasi adanya
multikolinieritas.
Ø Multikolinieritas
dapat juga dilihat dari VIF, jika VIF <10 maka tingkat kolinieritas dapat
ditoleransi.
Ø Nilai
eigenvalue sejumlah satu atau lebih variabel bebas yang mendekati nol
memberikan petunjuk adanya multikolinieritas
3.5.2.4 Uji
Autokorelasi
Uji autokorelasi adalah menguji ada
tidaknya korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan periode t-1
pada persamaan regresi linier. Untuk mendiagnosis adanya autokorelasi dalam
suatu model regresi dilakukan melalui uji Durbin Watson. Uji Durbin Watson
hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu dan mensyaratkan adanya
intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lagi diantara
variabel bebas. Kriteria pengujian dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut:
Tabel 2.3
Pengambilan Keputusan ada tidaknya
Autokorelasi
Hipotesis
Nol
|
Keputusan
|
Jika
|
Tidak ada autokorelasi positif
|
Ditolak
|
0<d<dL
|
Tidak ada autokorelasi positif
|
Tidak ada keputusan
|
dL≤d≤dU
|
Tidak ada autokorelasi negative
|
Ditolak
|
4-dL<d<4
|
Tidak ada autokorelasi negative
|
Tidak ada keputusan
|
4-dU≤d≤4-dL
|
Tidak ada autokorelasi positif
atau negative
|
Tidak ditolak
|
dU<d<4-dU
|
Sumber : Imam Ghozali
2006
3.5.3 Uji Beda
Uji beda t-test adalah adalah
membandingkan rata-rata dua grup yang tidak berhubungan satu dengan yang lain.
Apakah kedua grup tersebut memiliki rata-rata yang sama ataukah tidak sama
secara signifikan. Pengambilan keputusan, yaitu (Ghozali, 2006):
I.
Jika probabilitas > 0.05, maka variance sama.
II.
Jika probabilitas < 0.05, maka variance beda.
3.5.4 Uji Hipotesis
Ghozali (2006) menyatakan bahwa,
ketepatan fungsi regresi sampai dalam menaksir nilai actual dapat diukur dari goodness
of fit. Secara statistik, setidaknya ini dapat diukur dari nilai statistik
t, nilai statistik F, dan koefisien determinasinya.
I.
Koefisien Determinasi
Koefisien
determinasi (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
menevariasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah di antara nol
dan satu. Nilai R² yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen
dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati
satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi
yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Secara umum
koefisien determinasi untuk data silang (crossection) relative rendah
karena adanya variasi yang besar antara masing-masing pengamatan, sedangkan
untuk data runtun waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien
determinasi yang tinggi.
II.
Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji
Statistik t)
Menurut
Ghozali (2006), uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh
pengaruh satu variabel penjelas atau independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen.
III.
Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Uji
statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau
bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama
terhadap variabel dependen atau terikat (Ghozali, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Agustian,
Ary Ginanjar. 2004. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan
Spiritual, New Edition, Jakarta: Arga
Publishing
Agustian,
Ary Ginanjar. 2007. Emotional Spiritual Quotient The ESQ Way 165. Jakarta: Arga
Publishing
Baridwan,
Zaki. 2001. Intermediate Accounting. Yogyakarta : BPFE. Depdikbud, 2000, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Ghozali,
Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariet Dengan Program SPSS. Badan penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Goleman,
Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Goleman,
Daniel. 2003. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hanifah
dan Syukriy, Abdullah. 2001. Pengaruh Perilaku Belajar Terhadap Prestasi Akademik
Mahasiswa Akuntansi. Media Riset Akuntansi, Auditing, dan Informasi. Volume 1,
No. 3, 63-86.
Indriantoro,
Nur dan Bambang Supomo. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi Dan Manajemen. Edisi
Pertama. Yogyakarta: BPFEYogyakarta.
Idrus,
Muhammad. 2003. Kecerdasan Spiritual Mahasiswa Yogyakarta. Skripsi. Universitas
Islam Indonesia.
Kieso
dan Weygandt. 2000. Akuntansi Intermediate. Jakarta: Binarupa Aksara.
Mawardi.
M.Cholid. 2011. Tingkat Pemahaman Mahasiswa Akuntansi Terhadap Konsep Dasar
Akuntansi di Perguruan Tinggi di Kota Malang. Jurnal Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Islam
(UNISMA) Malang
Soeparwoto,
dkk, 2005, Psikologi Perkembangan, UPT UNNES PRESS, Semarang
Purwanto,
Ngalim. 2003. Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Rachmi,
Filia. 2010. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spritual dan Perilaku
Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi. Skripsi. Universitas Diponegoro
Suryaningrum,
Sri dan Trisnawati, Eka Indah. 2003.
“Pengaruh
Kecerdasan Emosional Terhadap Pemahaman Akuntansi ”. Jurnal
Akuntansi Manajemen. Vol. 6 No. 5, hal 1073- 1091.
Suwardjono.
2005. Teori Akuntansi; Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ketiga.
Yogyakarta: BPFE.
Suwardjono.
1999. Mamahamkan Akuntansi Dengan Penalaran dan Pendekatan Sistem. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14 No.3, 106-122.
Suwardjono.
2004, Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi, www.suwardjono.com. Di akses pada
tanggal 30 Desember 2014.
Trihandini,
M. F. 2005. Analisi Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional dan
Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan, Tesis, Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro,
Semarang.
Tikollah, M.R, Triyuwono, dan
Ludigdo, Unti. 2006. “Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional,
dan Kecerdasan Spiritual terhadap sikap Etis Mahasiswa Akuntansi”. Jurnal Pendidikan Akuntansi
Vol. 9. No.2, Simposium Akuntansi 9. Padang, 23-26 Agustus.
Melandy, Rissyo dan Aziza
Nurma. 2006. “Pengetahuan
Kecerdasan Emosional Terhadap
Pemahaman Akuntansi Kepercayaan Diri sebagai Variabel Pemoderasi”. Padang: Jurnal Simposium
Nasional Akuntansi IX.
Yosep, Iyus. 2005. Pentingya
ESQ (Emotional Spiritual Quotion) Bagi Perawat Dalam Manajemen
Konflik.Universitas Padjajaran, Bandung.
Yusuf, Al Hariyono. 2002.
Pengantar Akuntansi 1. Yogyakarta : STIE YKPN.
Yani, Fitri. 2011. Pengaruh
Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual Terhadap
Pemahaman Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pendidikan. Universitas Riau.
Zohar, Danah dan Marshall,
Ian. 2003. SQ Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.
Zohar, Danah dan Marshall,
Ian, 2005, Memberdayakan SC di Dunia Bisnis.
Terjemahan. Helmi Mustofa. Bandung: Mizan.