Daftar Blog Saya

Kamis, 09 Mei 2013

SISTEM EKONOMI SYARIAH


MAKALAH IJARAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar belakang
                        Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B.          Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas bisa memunculkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas diantaranya :
1.      Apa yang dimaksud dengan ijarah?
2.      Apa saja yang menjadi rukundan syarat ijarah?
3.      Apa saja yang menjadi dasar hukum ijarah?

C.          Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana pengertian ijarah.
2.      Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat ijarah.
3.      Untuk mengetahui dasar hukum ijarah.
4.      Dan lain hal mengenai ijarah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Ijarah
Ijarah berasal dari bahasa arab yaitu ”Ajaro” yang berarti upah atau pahala. Ijarah secara bahasa dimaknai dengan sewa menyewa dan upah. Idris Ahmad berpendapat bahwa ijarah adalah upah mengupah, sedangkan Kamaluddin A Marzuki menjelaskan makna ijarah sebagai sewa menyewa.
Menurut istilah syara’, beberapa ulama memiliki definisi masing masing mengenai ijarah ini, diantaranya yaitu :
1.      Menurut Ulama Hanafiyah, Ijarah ialah : ”akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
2.      Menurut Ulama Malikiyah, Ijarah ialah : ”Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.
3.      Menurut Saikh Syihab Al-Din dan Saikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan Ijarah ialah : ”akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberikan dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.
4.      Menurut Hasbi Ash-Shiddieqie, Ijarah ialah : ”akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.
Berdasarkan definisi diatas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah tukar menukar manfaat sesuatu dengan imbalan, dalam bahasa indonesia ijarah diterjemahkan dengan sewa menyewa dan upah mengupah. Sewa menyewa merupakan penjualan manfaat suatu barang, sedangkan upah mengupah adalah penjaulan manfaat tenaga atau kekuatan seseorang.

B.   Rukun dan Syarat Ijarah
Adapun rukun-rukun ijarah antara lain :
1.      Mu’jir(orang/barang     yang   disewa).
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan atau mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu.
2.      Musta’jir   (orang    yang menyewa).
Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu  atau musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya, atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya     itu.
3.      Objek transaksi (manfaat)
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya.
4.      Sighat   (ijab   dan       qabul).
Sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan        ijarah.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasa. Sedangkan Qabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.
5.      Imbalan atau             Upah.
Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
Adapun   rukun   ijarah   adalah            :
1.      Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2.      Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3.      Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4.      Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5.      Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6.      Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan              uang sesuai dengan   adat   kebiasaan   setempat.

C.   Dasar Hukum Ijarah
1.    Al-Qur’an
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Kebolehan           transaksi  ijarah      didasarkan Al   Qur’an QS. Az-Zukhruf : 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih      baik   dari       apa       yang    mereka             kumpulkan”.

Ayat ke 32 surat Az Zukhruf ini didahului dengan kisah Nabi Ibrahim a.s, bahwa ia berlepas diri dari apa yang dilakukan ayahnya dan kaumnya yang mempraktikan kemusyrikan dengan  menyembah berhala meskipun Nabi Ibrahim a.s telah memberikan kabar peringatan kepada mereka. Namun demikian Allah tidak  tetap memberikan nikmat kehidupan hingga kepada keturunan mereka, hingga datang  rasul terakhir yang membawa Al Qur’an yaitu Rasulullah Muhammad saw. Dan ketika kebenaran itu datang mereka tetap mengingkarinya dan berkata bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah saw tidak lain adalah sihir, dan dengan menantang mereka berkata mengapa pula Al-Quran diturunkan pada  Muhammad saw yang mereka anggap biasa saja, alih-alih pembesar penting yang memiliki banyak materi dari negeri  Mekah atau Thaif. Atas perkataan mereka Allah menyanggah siapakah hakekat mereka hingga dengan lancangnya  mereka mengatakan amanah dan tanggung jawab ini dan itu lebih pantas diserahkan kepada       si          fulan    ini        atau     si          fulan    itu.
Kemudian Allah menerangkan bahwa Allah telah membedakan hambaNya berkenaan dengan harta kekayaan, rezeki, akal, pemahaman, dan sebaginya yang merupakan kekuatan lahir dan batin, agar satu sama lain saling menggunakan potensinya dalam beramal, karena yang ini membutuhkan yang itu dan yang itu membutuhkan yang ini. Kemudian Allah menutup ayat  dengan menegaskan bahwa apa-apa yang dirahmatkan Allah kepada para Hamba-Nya adalah  lebih baik bagi mereka dari pada apa-apa yang tergenggam dalam tangan mereka berupa pekerjaan-pekerjaan dan kesenangan hidup duniawi.
Ayat ini pun dijadikan dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain adalah suatu keniscayaan kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi yang beraneka        ragam agar     mereka        saling   bermuamalah.
QS.   Al-Kahfi:    77
”Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)
Surat Al kahfi menceritakan tentang Musa dan sahabatnya Khidir, keduanya berkelana setelah sebelumnya mencapai kesepakatan untuk bersahabat. Khidir mensyaratkan agar Musa jang memulai menanyakan sesuatu yang ganjil baginya, sebelum Khidir menerangkan dan menjelaskannya., setelah dua kali perjalanan  mereka sampai pada negeri Elia atau Li’ama atau Bakhla, namun penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka.  Di negeri itu pula mereka mendapati ada sebuah rumah yang hampir roboh. Lalu Khidir menegakkannya kembali. Musa kemudian mengatakan kepada Khidir untuk meminta upah kepada penduduk negeri atas perbuataanya telah menegakkan rumah tersebut, apalagi setelah penduduk    negeri     itu         sama    sekali tidak menjamu mereka.
Ayat ini dapat dijadikan rujukkan bahwa manusia dapat meminta upah atas pekerjaan        yang        telah dilakukan.
2.    As-Sunnah
Hadist Rasulullah SAW:
a.    Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammadsaw. Bersabda :
Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
b.    Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
c.    Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
d.    Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
3.    Ijma
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
Kaidah fiqh:
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan               kemaslahatan.
4.    Perbedaan Ijarah   dan             Wadi’ah
Menurut  bahasa wadi’ah adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna   dengan            itu”.
Jelaslah perbedaan antara Ijarah dan Wadi’ah, dimana Ijarah adalah sebuah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Dimana jika kita kaitkan antara Wadi’ah dan ijarah, seseorang tidak akan mendapatkan upah jika tidak ada orang lain yang memberikan sebuah amanah atau kepercayaan, baik itu dalam bentuk barang           maupun jasa.

D.   Hikmah Ijarah
                 Hikmah disyari’ahkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Tujuan dibolehkannya ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun, itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan        diri       kepada Allah   SWT.
Adapun    hikmah diadakannya      ijarah          antara    lain:
1.      Membina       ketentraman    dan      kebahagiaan.
Dengan adanya ijarah, akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan musta’jir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi, maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah SWT.
Dengan transaksi ijarah, dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
2.      Memenuhi     nafkah   keluarga.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputu istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir, maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi.
3.      Memenuhi     hajat       hidup     masyarakat.
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarakat, baik yang ikut bekerja, maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur         tolong menolong antar           sesama.
4.      Menolak    kemungkaran.
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran besar akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya, hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
                                   ·          Ijarah ialah, pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah, serta tanpa adanya kepemindahan          kepemilikan.
                                   ·          Rukun ijarah ada 5, yaitu:
1.    Mu’jir (orang/barang yang disewa).
2.    Musta’jir (orang yang menyewa).
3.    Objek transaksi (manfaat).
4.    Sighat (ijab dan qabul).
5.    Imbalan atau upah.
                                   ·          Syarat ijarah ada 6, yaitu:
1.    Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2.    Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3.    Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4.    Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak       bercacat.
5.    Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6.    Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
                                   ·          Yang menjadi dasar hukum Ijarah ada 3:
1.   Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an khususnya didalam surat Az-Zukhruf: 32. Menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
2.   As- Sunnah
Dalam salah satu hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.
Hadits diatas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang dipekerjakan, yaitu nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau selesai dilakukan. Dalam hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi ijarah.
3.    Ijma.
Mengenai kebolehan ijarah, para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
Saran
Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan Ijarah, terutama dalam pelaksanaanya harus berdasarkan pada aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh Allah swt di dalam Al-Qur’an, serta berdasarkan pada Sunnah-sunnah nabi dan ijma. Agar kita semua terhindar dari hal-hal yang di larang dalam syari’ah islam.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  Syafe’i, Rachmat. 2004, Fiqih Muamalah.

Ø  Suhendi, Hendi. 2002, Fiqh Muamalah.

Ø  Djuwaini, Dimyauddin. 2008, Fiqh Muamalah.

Ø  Karim, Helmi. 1997, Fiqh Muamalah.

Ø Suwardi K. Lubis, 2004, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Ø www. blog.uin-malang.ac.id/enasmi/2012/04/21/الإجاره-sewa-menyewa-2

           

SISTEM EKONOMI SYARIAH


MAKALAH RIBA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
          Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
            Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
            Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
Sejarah Riba
Orang Yahudi mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau dilakukan pada pihak lain. Hal inilah yang mendorong umat Yahudi memakan riba dari fihak lain dan menurut al-Qur'an, perbuatan semacam ini dikatakan sebagai hal memakan riba.
Menurut Muhammad Assad, dalam The Message of the Qur'an dinyatakan, bahwa setelah dibebaskan oleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan Fir'aun, bangsa Yahudi mendapatkan berbagai kenikmatan hidup. Tetapi sesudah itu, terutama setelah masa Nabi Isa, bangsa Yahudi mengalami malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah mereka.
Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktek riba dan memakan harta manusia secara batil. Dalam kitab orang Yahudi sendiri (Taurat dan Zabur) telah dilarang praktek-praktek riba.
Allah Swt berfirman, “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (An-Nisa`: 160-161)



BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RIBA
1. Pengertian secara bahasa :
a)      الزيادة (bertambah) yaitu meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan
b)       النام (berkembang/berbunga) yaitu membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain
c)       Berlebihan atau menggelembung
2. Pengertian secara istilah :
a. Menurut Ulama Hanabilah : “Pertambahan sesuatu yang dikhususkan”.
b. Menurut Ulama Hanafiyah : “Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta”.
c. Menurut al-Mali : “Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
d. Menurut Abdurrahman al-Jaiziri : “Akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya”.
e. Menurut Syaikh Muhammad Abduh : “Penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan”.
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.

B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
- Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)
Ibnu Katsir rh berkata, “Allah Swt menyebutkan perihal orang-orang yang memakan riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil serta melakukan usaha syubhat. Melalui ayat ini Allah Swt memberitakan keadaan mereka kelak saat mereka dibangkitkan dari kuburnya, lalu berdiri menuju tempat dihimpunnya semua makhluk.
Untuk itu Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari kuburnya pada hari kiamat nanti melainkan seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi mereka sangat buruk”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa orang yang memakan riba (melakukan riba) dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik.
Ibnu Katsir rh mengatakan bahwa sesungguhnya mereka menghalalkan hal tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah dalam syariatnya, dan hal ini bukanlah analogi mereka yang menyamakan riba dengan jual beli, karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli yang disyariatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an.
Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum.
Firman Allah Swt, “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”.
Ibnu Katsir rh berkata bahwa barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita itu kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan sebelum ada larangan.
Riba itu bisa menghapus pahala jihad. Ummu Bahnah (ibu dari Zaid ibnu Arqam) pernah berkata kepada Siti Aisyah ra, istri Nabi Saw, “Hai Ummul Mu’minin, kenalkah engkau dengan Zaid ibnu Arqam?”. Siti Aisyah ra menjawab, “Ya”. Ia berkata, “Sesungguhnya aku menjual seorang budak kepadanya seharga 800 secara ‘ata. Lalu ia memerlukan dana, maka aku kembali membeli budak itu dengan harga 600 sebelum tiba masa pelunasannya”.
Siti Aisyah ra menjawab, “Seburuk-buruk jual beli adalah apa yang kamu lakukan, alangkah buruknya jual beli kamu. Sampaikanlah kepada Zaid bahwa semua jihadnya bersama Rasulullah Saw akan dihapuskan dan benar-benar akan dihapuskan (pahalanya) jika tidak mau bertaubat”. (HR Ibnu Abi Hatim) (Tafsir Ibnu Katsir)
Firman Allah Swt, “Orang yang kembali mengambil riba)” yakni kembali melakukan riba sesudah sampai kepadanya larangan Allah, berarti ia pasti terkena hukuman dan hujjah mengenainya. Karena itulah firman Allah Swt selanjutnya, “maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Bab “riba” merupakan bab paling sulit menurut kebanyakan ahli ilmu agama. Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab ra pernah berkata, “Seandainya saja Rasulullah Saw memberikan suatu keterangan yang memuaskan kepada kami tentang masalah jad (kakek) dan kalalah serta beberapa bab yang menyangkut masalah riba.
Maksudnya adalah beberapa masalah yang di dalamnya terdapat campuran masalah riba. Hukum syariat dengan tegas menyatakan bahwa semua sarana yang menjurus ke arah hal yang diharamkan hukumnya sama haramnya karena semua sarana yang membantu ke arah hal yang diharamkan hukumnya haram. Sebagaimana hal yang menjadi kesempurnaan bagi perkara yang wajib, hukumnya wajib pula.
Ibnu Abbas ra berkata, “Wahyu yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah Saw adalah ayat mengenai riba”. (Riwayat Bukhari)
- Allah Swt berfirman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177]Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178]”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 276)
[177]. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan berkahnya.
[178]. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah menghapuskan riba dan melenyapkannya. Hal ini terjadi dengan cara melenyapkan riba secara keseluruhan dari tangan pelakunya atau dicabut berkah hartanya sehingga ia tidak dapat memanfaatkannya melainkan menghilangkannya di dunia dan di akhirat kelak Dia akan menyiksanya.
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya riba itu sekalipun (hasilnya) banyak tetapi akibatnya akan menyusut”. (HR Ahmad)
Umar bin Khatthab ra ketika menjabat sebagai Amirul Mu’minin keluar menuju masjid, lalu beliau melihat makanan yang digelar. Maka ia bertanya, “Makanan apakah ini?”. Mereka menjawab, “Makanan yang didatangkan buat kami”. Umar berkata, “Semoga Allah memberkati makanan ini, juga orang yang mendatangkannya”.
Ketika dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya si pengirim makanan ini telah menimbun makanan kaum muslimin, Umar bertanya, “Siapa pelakunya?”. Mereka menjawab bahwa yang melakukannya adalah Farukh maula Usman dan si Fulan maula Umar.
Maka Khalifah Umar memanggil keduanya, lalu Umar bertanya kepada keduanya, “Apakah yang mendorong kamu berdua menimbun makanan kaum muslim?”. Keduanya menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, kami membelinya dengan harta kami dan menjualnya”.
Umar berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslim, niscaya Allah akan menghukumnya dengan kepailitan atau penyakit kusta”.
Maka Farukh berkata saat itu juga, Aku berjanji kepada Allah, juga kepadamu bahwa aku tidak akan mengulangi lagi menimbun makanan untuk selama-lamanya”. Adapun maula (bekas budak) Umar, ia berkata, “Sesungguhnya kami membeli dan menjual dengan harta kami sendiri”. Abu Yahya berkata, “Sesungguhnya aku melihat maula Umar terkena penyakit kusta”. (Riwayat Imam Ahmad) (Tafsir Ibnu Katsir)
“Dan menyuburkan sedekah”, Ibnu Katsir rh berkata bahwa ayat ini dapat dibaca yurbi berasal dari rabasy syai-a, yarbu arbahu yurbihi artinya memperbanyak dan mengembangkan serta menumbuhkan.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” yakni Allah tidak menyukai orang yang hatinya banyak ingkar lagi ucapan dan perbuatannya banyak berdosa.
Orang yang melakukan riba itu pada hakikatnya tidak rela dengan rezeki halal yang dibagikan oleh Allah untuknya. Ia kurang puas dengan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah untuknya yaitu usaha yang halal.
Untuk itu ia berusaha dengan cara memakan harta orang lain secara batil melalui berbagai usaha yang jahat. Ia adalah orang yang ingkar kepada nikmat yang diperolehnya, lagi suka aniaya dengan memakan harta orang lain secara batil.
- Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 278-279)
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt berfirman seraya memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan melarang mereka melakukan hal-hal yang mendekatkan mereka kepada kemurkaan-Nya dan hal-hal yang menjauhkan diri mereka dari rida-Nya.
Untuk itu Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah” yakni takutlah kalian kepada-Nya dan ingatlah selalu bahwa kalian selalu berada di dalam pengawasan-Nya dalam semua perbuatan kalian.
“Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)” yakni tinggalkanlah harta kalian yang ada di tangan orang lain berupa lebihan dari pokoknya sesudah adanya peringatan ini. “Jika kalian orang-orang beriman” yaitu jika kalian beriman kepada apa yang disyariatkan oleh Allah buat kalian yaitu penghalalan jual beli dan pengharaman riba. (Tafsir Ibnu Katsir)
“Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” yakni barangsiapa yang masih tetap menjalankan riba dan tidak mau menanggalkannya maka sudah merupakan kewajiban bagi Imam kaum muslimin untuk memerintahkan bertaubat kepadanya. Jika ia mau bertaubat maka bebaslah ia tetapi jika masih tetap maka lehernya dipancung. (Tafsir Ibnu Katsir)
Al-Hasan dan Ibnu Sirin, keduanya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya rentenir-rentenir (bankir-bankir) itu benar-benar orang-orang yang memakan riba. Sesungguhnya mereka telah memaklumatkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seandainya orang-orang dipimpin oleh seorang imam yang adil niscaya imam diwajibkan memerintahkan mereka untuk bertaubat. Jka mereka mau bertaubat maka bebaslah mereka tetapi jika mereka tetap melakukan riba maka dimaklumatkan perang terhadap mereka”. (Riwayat Ibnu Abu Hatim) (Tafsir Ibnu Katsir)
Qatadah rh berkata bahwa Allah mengancam mereka untuk berperang seperti yang telah mereka dengar, dan Allah menjadikan mereka boleh diperangi di manapun mereka berada. Maka jangan sekali-kali melakukan transaksi riba karena sesungguhnya Allah telah meluaskan usaha yang halal dan menilainya baik. Karena itu janganlah sekali-kali kalian menyimpang dan berbuat durhaka kepada Allah Swt karena takut jatuh miskin (Riwayat Ibnu Abi Hatim) (Tafsir Ibnu Katsir)
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” maksudnya kalian tidak menganiaya orang lain karena mengambil riba darinya dan tidak pula dianiaya karena harta pokok kalian dikembalikan tanpa ada tambahan atau pengurangan melainkan sesuai apa adanya. (Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Ali Imran 3 : 130)
[228]. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memberlakukan riba dan memakan riba yang berlipat ganda. Allah Swt juga memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bertakwa supaya mereka menjadi orang-orang yang beruntung dalam kehidupan dunia dan akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, “dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil”. (Q.S. An-Nisa 4 : 161)
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt telah melarang mereka (yahudi) melarang melakukan riba tetapi mereka menjalankannya dan menjadikanya sebagai pekerjaan mereka, lalu mereka melakukan berbagai macam pengelabuan untuk menutupinya dan mereka memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah Swt berfirman, “Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi[206]. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui”. (Q.S. Ali 'Imran 3 : 75)
[206]. Yang mereka maksud dengan orang-orang ummi dalam ayat ini adalah orang Arab.
Ibnu Katsir rh berkata tentang Q.S. Ali Imran 75 bahwa Allah Swt memberitakan perihal orang-orang Yahudi bahwa di antara mereka ada orang-orang yang khianat, dan Allah Swt memperingatkan kaum mukmin agar bersikap waspada terhadap mereka, jangan sampai terperdaya.
- Allah Swt berfirman, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. (Q.S. Ar-Rum 30 : 39)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan”. Sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasulullah?”. Jawab Nabi, “ (1) Syirik (mempersekutukan Allah), (2) Berbuat sihir, (3) Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali yang haq, (4) Makan harta riba, (5) Makan harta anak yatim, (6) Melarikan diri dari medan perang saat berjihad dan (7) Menuduh wanita mukminah yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina”. (HR Bukhari)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw telah melaknat pemakan riba, yang mewakili, saksinya dan penulisnya”. (HR Abu Dawud)
Rasulullah Saw bersabda, “Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut mengetahuinya, dosa perbuatan tersebut lebih berat daripada dosa enam puluh kali zina”. (HR Ahmad)
Rasulullah Saw bersabda, “Riba memiliki enam puluh pintu dosa, dosa yang paling ringan dari riba ialah seperti dosa yang berzina dengan ibunya”. (HR Ibnu Jarir)
Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, dua saksinya, dua penulisnya, jika mereka tahu yang demikian, mereka dilaknat lidah Muhammad Saw pada hari kiamat”. (HR Nasa’i)
“Emas dengan emas sama berat sebanding dan perak dengan perak sama berat & sebanding”. (HR Ahmad)
3. Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan semua ulama’ mujtahidin dari ummat Muhammad SAW pada suatu masa, atas suatu hukum syari’at. Jadi, apabila para ulama’ itu telah sepakat – baik di masa sahabat maupun sesudahnya – atas salah satu hukjm syari’at, maka kesepakatan mereka adalah merupakan ijma’, sedang melaksanakan apa yang mereka sepakati adalah wajib. 

Dalilnya, bahwa nabi SAW telah memberitakan, bahwa para ulama’ kaum muslimin takkan sepakat atas satu kesesatan. Jadi kesepakatan mereka adalah merupakan kebenaran. Dalam Musnadnya (6 396), 

Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Bashrah al-Ghifari RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Aku telah meminta kepada Allah ‘Azza Wa Jalla’ agar ummatku tidak menyepakati suatu kesesatan, maka permintaanku itu Dia perkenankan. 

Contohnya ialah ijma’ para sahabat RA, bahwa kakek mengambil seperenam harta peninggalan si mayi, bila ada anak lelaki, sedang ayah mayit itu tidak ada. 

Kedudukan Ijma' dalam Fiqih Islam

Sebagai rujukan hukum, ijma’ menempati urutan ketiga. Artinya, apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama’ kaum muslimin telah ijma’. Apabila ternyata demikian, maka ijma’ mereka kita ambil dan kita laksanakan.
Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam Islam.

C . MACAM-MACAM RIBA
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Riba hutang-piutang terbagi menjadi 2 yaitu
  1. riba qardh dan 
  2. riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi 2 juga yaitu 
  1. riba fadhl dan 
  2. riba nasi’ah.
Berikut penjelasannya :

a. riba hutang piutang ( yad )
Ø  Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
Ø  Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b. riba jual beli ( bai’)
Riba jual beli dibagi menjadi 2 bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2 hal. 129)
1. Riba al-fadhl (riba pertukaran)
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat harta pada akad jual beli yang diukur dan sejenis”.
Dengan kata lain, riba fadhl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur.
Oleh karena itu, jika melaksanakan akad sharf (penukaran) antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. Larangannya adalah menukar atau menjual komoditi yang sama (terkait dengan 6 komoditi yaitu emas, perak, gandum, biji-bijian, garam dan kurma) dengan jumlah yang berbeda.
2. Riba nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz 5 hal. 183)
Riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atau barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan atau diutangkan karena adanya tambahan waktu pembayaran atau penyerahan barang baik yang sejenis ataupun tidak.


D. HAL YANG MENIMBULKAN RIBA
1. Tidak sama nilainya
2. Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukurannya
3. Tidak tunai di majelis akad

E. CONTOH PRAKTEK RIBA
Mukhabarah, juga dikenal dengan istilah muzara’ah : ialah menyewa lahan dengan bayaran sebagian dari apa yang dihasilkan dari lahan itu
Muzabanah : ialah membeli buah kurma gemading yang ada di pohonnya dengan pembayaran berupa buah kurma yang telah dipetik (masak).
Muhaqalah yaitu membeli biji-bijian yang masih hijau dengan biji-bijian yang telah masak (ijon).
Sesungguhnya ketiga hal di atas dan yang semisal dengannya diharamkan karena adanya persamaan yang tidak diketahui atau disebut juga mufadalah (ada kelebihan pada salah satu pihaknya).
- Segala sesuatu yang menjurus ke riba adalah haram dan semua sarana yang membantunya.
- Pertukaran uang yang tidak sama nilai intrinsiknya (misal 100 dinar emas indonesia dengan 100 dinar emas dubai tapi ketika ditimbang ada selisih 2 gram)—maka 2 gram tsb adalah riba karena tidak ada imbangannya (tidak tamasul/sama nilainya)
- Pinjaman uang dengan lebih (pinjam 10 dinar, dikembalikan ditambah 10% dari pokok pinjaman, jadi 11 dinar)—maka yang 10% dari pokok pinjaman tsb (1 dinar) adalah riba karena tidak ada imbangannya (tidak tamasul/sama nilainya)
- Pertukaran 1 liter beras ketan dengan 2 liter beras organik maka pertukaran tersebut adalah riba karena beras harus diktukar dengan yang sejenis dan tidak dilebihkan.Maka solusinya adalah beras ketannya dijual dulu kemudian uangnya dibelikan beras organik atau dikonversikan ke nilai uang hingga sama nilainya.
- Seseorang yang menukar 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun harganya sama, ukurannya berbeda.

F. PENDAPAT ULAMA FIQIH TENTANG ILLAT RIBA
Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada 7 barang yaitu emas, perak, gandum, sya’ir (biji-bijian), kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR.
Muslim)

Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat :
- Imam Malik mengkhususkannya pada makanan pokok
- Menurut pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak serta makanan meskipun tidak ditimbang
Perbedaan antar madzhab lebih detail sbb :
1. Madzhab Maliki
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.
Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan utama Malikiyah menetapkan illat di atas antara lain apabila riba dipahami agar tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni makanan pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.
2. Madzhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan, kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya seperti menjual 1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 185)
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-Khudri dan Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda, “emas dengan emas, keduanya sama (mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi yadin), (apabila ada) tambahan adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, sya’ir dengan sya’ir, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma dengan kurma, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba”.
Di antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu di antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah Sadd Adz-Dzara’i (menurut pintu kemudharatan).
Namun demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzara’i tetapi ada pula yang betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan (mitslan bi mitslin).
Ukuran riab fadhl pada makanan adalah ½ sha’ sebab menurut golongan ini, itulah yang telah ditetapkan syara’ (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 188). Oleh karena itu dibolehkan tambahan jika kurang dari ½ sha’.
Illat riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan dibayar menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar.
3. Madzhab Syafi’i
Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi 3 kriteria sbb :
a. Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok
b. Makanan yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering
c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.
Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli harus memenuhi kriteria :
a. Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang
b. Sama ukurannya
c. Tumpang terima
Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya seperti menjual gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima”.
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.
4. Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia.
Hal ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib (Ibnu Qudamah, Al-Muhtaj, juz 4, hal. 3-5) yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum”. (HR Daruquthni)

G. RINGKASAN DARI PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA
Perbedaan pendapat di kalangan ulama di atas menyebabkan adanya beberapa perbedaan lainnya sbb :
1. Berkaitan dengan Riba Fadhl
Ulama Hanafiyah membolehkan adanya tambahan pada makanan yang tidak ditimbang sebab tidak ada illat riba yaitu timbangan.
Menurut Ulama Syafi’iyah, hal itu tidak boleh sebab meskipun tidak ditimbang, tetap termasuk jenis makanan.
Sesuatu yang tidak termasuk makanan tetapi ditimbang dan diukur,menurut ulama Hanafiyah tidak boleh ada tambahan sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan karana bukan termasuk makanan.
2. Berkaitan dengan Jenis
Para ulama berbeda pendapat tentang jual beli yang berkaitan dengan jenis :
a. Jual beli tepung dengan sejenisnya
Seperti tepung gandum dengan tepung gandum, ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkannya sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah melarangnya.
b. Jual beli dengan hewan
Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf membolehkan jual beli daging yang dapat dimakan dengan hewan sejenisnya sebab sama dengan menjual sesuatu yang ditimbang dengan sesuatu yang tidak ditimbang.
Ulama Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah melarangnya seperti menjual daging kambing dengan kambing sebab Rasulullah Saw sebagaimana hadits yang diriwayatkan Baihaqi, melarang jual beli sesuatu yang masih hidup dengan sesuatu yang sudah mati.
Perbedaan-perbedaan lainnya tentu saja masih banyak, baik yang berkaitan dengan riba fadhl maupun dengan riba nasi’ah.

H. DAMPAK RIBA
1. Kekayaan hanya berputar di segelintir orang saja
2. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin
3. Mustahik (penerima zakat) semakin meningkat dan muzakki (pembayarzakat) semakin menurun
4. Terjadinya over produksi
5. Monopoli
6. Penimbunan barang
7. Matinya sedekah
8. Pengurangan timbangan
9. Makanan semakin tidak berkualitas dan syubhat
10. Cara penawaran barang (iklan) dusta
11. Sumpah palsu
12. Kerusakan harga
DAFTAR PUSTAKA






Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
Instagram