MAKALAH IJARAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam.
Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik
dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus
mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah,
dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena
begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam
pembahasan makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas bisa memunculkan beberapa pertanyaan yang penting untuk
dibahas diantaranya :
1. Apa
yang dimaksud dengan ijarah?
2. Apa
saja yang menjadi rukundan syarat ijarah?
3. Apa
saja yang menjadi dasar hukum ijarah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui bagaimana pengertian ijarah.
2. Untuk
mengetahui rukun dan syarat-syarat ijarah.
3. Untuk
mengetahui dasar hukum ijarah.
4. Dan
lain hal mengenai ijarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijarah
Ijarah berasal dari bahasa
arab yaitu ”Ajaro” yang berarti upah atau pahala. Ijarah secara bahasa dimaknai
dengan sewa menyewa dan upah. Idris Ahmad berpendapat bahwa ijarah adalah upah
mengupah, sedangkan Kamaluddin A Marzuki menjelaskan makna ijarah sebagai sewa
menyewa.
Menurut istilah syara’, beberapa ulama memiliki definisi masing masing mengenai ijarah ini, diantaranya yaitu :
Menurut istilah syara’, beberapa ulama memiliki definisi masing masing mengenai ijarah ini, diantaranya yaitu :
1.
Menurut Ulama Hanafiyah, Ijarah ialah : ”akad untuk
membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang
disewa dengan imbalan.
2.
Menurut Ulama Malikiyah, Ijarah ialah : ”Nama bagi
akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang
dapat dipindahkan.
3.
Menurut Saikh Syihab Al-Din dan Saikh Umairah bahwa
yang dimaksud dengan Ijarah ialah : ”akad atas manfaat yang diketahui dan
disengaja untuk memberikan dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika
itu.
4.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqie, Ijarah ialah : ”akad
yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan
manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.
Berdasarkan definisi diatas, dapat dipahami bahwa ijarah
adalah tukar menukar manfaat sesuatu dengan imbalan, dalam bahasa indonesia
ijarah diterjemahkan dengan sewa menyewa dan upah mengupah. Sewa menyewa
merupakan penjualan manfaat suatu barang, sedangkan upah mengupah adalah
penjaulan manfaat tenaga atau kekuatan seseorang.
B. Rukun
dan Syarat Ijarah
Adapun rukun-rukun ijarah antara lain :
1. Mu’jir(orang/barang
yang disewa).
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan atau mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu.
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan atau mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu.
2. Musta’jir (orang yang menyewa).
Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu atau musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya, atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.
Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu atau musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya, atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.
3.
Objek transaksi (manfaat)
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya.
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya.
4. Sighat (ijab dan qabul).
Sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan ijarah.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasa. Sedangkan Qabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.
Sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan ijarah.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasa. Sedangkan Qabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.
5.
Imbalan atau Upah.
Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
Adapun rukun ijarah adalah :
1. Kedua orang yang berakad harus
baligh dan berakal.
2. Menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah
harus diketahui secara sempurna.
4. Objek ijarah boleh diserahkan dan
dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5. Manfaat dari objek yang di ijarahkan
harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti
mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk
membunuh orang lain.
6. Upah/sewa dalam akad harus jelas dan
sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat
kebiasaan setempat.
C. Dasar Hukum Ijarah
1. Al-Qur’an
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Kebolehan transaksi ijarah didasarkan Al Qur’an QS. Az-Zukhruf : 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Ayat ke 32 surat Az Zukhruf ini didahului dengan kisah Nabi Ibrahim a.s, bahwa ia berlepas diri dari apa yang dilakukan ayahnya dan kaumnya yang mempraktikan kemusyrikan dengan menyembah berhala meskipun Nabi Ibrahim a.s telah memberikan kabar peringatan kepada mereka. Namun demikian Allah tidak tetap memberikan nikmat kehidupan hingga kepada keturunan mereka, hingga datang rasul terakhir yang membawa Al Qur’an yaitu Rasulullah Muhammad saw. Dan ketika kebenaran itu datang mereka tetap mengingkarinya dan berkata bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah saw tidak lain adalah sihir, dan dengan menantang mereka berkata mengapa pula Al-Quran diturunkan pada Muhammad saw yang mereka anggap biasa saja, alih-alih pembesar penting yang memiliki banyak materi dari negeri Mekah atau Thaif. Atas perkataan mereka Allah menyanggah siapakah hakekat mereka hingga dengan lancangnya mereka mengatakan amanah dan tanggung jawab ini dan itu lebih pantas diserahkan kepada si fulan ini atau si fulan itu.
Kemudian Allah menerangkan bahwa Allah telah membedakan hambaNya berkenaan dengan harta kekayaan, rezeki, akal, pemahaman, dan sebaginya yang merupakan kekuatan lahir dan batin, agar satu sama lain saling menggunakan potensinya dalam beramal, karena yang ini membutuhkan yang itu dan yang itu membutuhkan yang ini. Kemudian Allah menutup ayat dengan menegaskan bahwa apa-apa yang dirahmatkan Allah kepada para Hamba-Nya adalah lebih baik bagi mereka dari pada apa-apa yang tergenggam dalam tangan mereka berupa pekerjaan-pekerjaan dan kesenangan hidup duniawi.
Ayat ini pun dijadikan dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain adalah suatu keniscayaan kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi yang beraneka ragam agar mereka saling bermuamalah.
QS. Al-Kahfi: 77
”Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)
Surat Al kahfi menceritakan tentang Musa dan sahabatnya Khidir, keduanya berkelana setelah sebelumnya mencapai kesepakatan untuk bersahabat. Khidir mensyaratkan agar Musa jang memulai menanyakan sesuatu yang ganjil baginya, sebelum Khidir menerangkan dan menjelaskannya., setelah dua kali perjalanan mereka sampai pada negeri Elia atau Li’ama atau Bakhla, namun penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka. Di negeri itu pula mereka mendapati ada sebuah rumah yang hampir roboh. Lalu Khidir menegakkannya kembali. Musa kemudian mengatakan kepada Khidir untuk meminta upah kepada penduduk negeri atas perbuataanya telah menegakkan rumah tersebut, apalagi setelah penduduk negeri itu sama sekali tidak menjamu mereka.
Ayat ini dapat dijadikan rujukkan bahwa manusia dapat meminta upah atas pekerjaan yang telah dilakukan.
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Kebolehan transaksi ijarah didasarkan Al Qur’an QS. Az-Zukhruf : 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Ayat ke 32 surat Az Zukhruf ini didahului dengan kisah Nabi Ibrahim a.s, bahwa ia berlepas diri dari apa yang dilakukan ayahnya dan kaumnya yang mempraktikan kemusyrikan dengan menyembah berhala meskipun Nabi Ibrahim a.s telah memberikan kabar peringatan kepada mereka. Namun demikian Allah tidak tetap memberikan nikmat kehidupan hingga kepada keturunan mereka, hingga datang rasul terakhir yang membawa Al Qur’an yaitu Rasulullah Muhammad saw. Dan ketika kebenaran itu datang mereka tetap mengingkarinya dan berkata bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah saw tidak lain adalah sihir, dan dengan menantang mereka berkata mengapa pula Al-Quran diturunkan pada Muhammad saw yang mereka anggap biasa saja, alih-alih pembesar penting yang memiliki banyak materi dari negeri Mekah atau Thaif. Atas perkataan mereka Allah menyanggah siapakah hakekat mereka hingga dengan lancangnya mereka mengatakan amanah dan tanggung jawab ini dan itu lebih pantas diserahkan kepada si fulan ini atau si fulan itu.
Kemudian Allah menerangkan bahwa Allah telah membedakan hambaNya berkenaan dengan harta kekayaan, rezeki, akal, pemahaman, dan sebaginya yang merupakan kekuatan lahir dan batin, agar satu sama lain saling menggunakan potensinya dalam beramal, karena yang ini membutuhkan yang itu dan yang itu membutuhkan yang ini. Kemudian Allah menutup ayat dengan menegaskan bahwa apa-apa yang dirahmatkan Allah kepada para Hamba-Nya adalah lebih baik bagi mereka dari pada apa-apa yang tergenggam dalam tangan mereka berupa pekerjaan-pekerjaan dan kesenangan hidup duniawi.
Ayat ini pun dijadikan dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain adalah suatu keniscayaan kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi yang beraneka ragam agar mereka saling bermuamalah.
QS. Al-Kahfi: 77
”Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)
Surat Al kahfi menceritakan tentang Musa dan sahabatnya Khidir, keduanya berkelana setelah sebelumnya mencapai kesepakatan untuk bersahabat. Khidir mensyaratkan agar Musa jang memulai menanyakan sesuatu yang ganjil baginya, sebelum Khidir menerangkan dan menjelaskannya., setelah dua kali perjalanan mereka sampai pada negeri Elia atau Li’ama atau Bakhla, namun penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka. Di negeri itu pula mereka mendapati ada sebuah rumah yang hampir roboh. Lalu Khidir menegakkannya kembali. Musa kemudian mengatakan kepada Khidir untuk meminta upah kepada penduduk negeri atas perbuataanya telah menegakkan rumah tersebut, apalagi setelah penduduk negeri itu sama sekali tidak menjamu mereka.
Ayat ini dapat dijadikan rujukkan bahwa manusia dapat meminta upah atas pekerjaan yang telah dilakukan.
2. As-Sunnah
Hadist Rasulullah SAW:
a. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammadsaw. Bersabda :
Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
b. Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
c. Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
d. Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
Hadist Rasulullah SAW:
a. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammadsaw. Bersabda :
Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
b. Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
c. Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
d. Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
3. Ijma
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
Kaidah fiqh:
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
Kaidah fiqh:
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
4. Perbedaan Ijarah dan Wadi’ah
Menurut bahasa wadi’ah adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.
Jelaslah perbedaan antara Ijarah dan Wadi’ah, dimana Ijarah adalah sebuah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Dimana jika kita kaitkan antara Wadi’ah dan ijarah, seseorang tidak akan mendapatkan upah jika tidak ada orang lain yang memberikan sebuah amanah atau kepercayaan, baik itu dalam bentuk barang maupun jasa.
Menurut bahasa wadi’ah adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.
Jelaslah perbedaan antara Ijarah dan Wadi’ah, dimana Ijarah adalah sebuah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Dimana jika kita kaitkan antara Wadi’ah dan ijarah, seseorang tidak akan mendapatkan upah jika tidak ada orang lain yang memberikan sebuah amanah atau kepercayaan, baik itu dalam bentuk barang maupun jasa.
D. Hikmah Ijarah
Hikmah
disyari’ahkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena
dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Tujuan dibolehkannya ijarah pada dasarnya
adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun, itu bukanlah tujuan akhir
karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara
lain:
1. Membina ketentraman dan kebahagiaan.
Dengan adanya ijarah, akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan musta’jir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi, maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah SWT.
Dengan transaksi ijarah, dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
Dengan adanya ijarah, akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan musta’jir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi, maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah SWT.
Dengan transaksi ijarah, dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
2. Memenuhi nafkah keluarga.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputu istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir, maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputu istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir, maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi.
3. Memenuhi hajat hidup masyarakat.
Dengan adanya transaksi ijarah
khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup
masyarakat, baik yang ikut bekerja, maupun yang menikmati hasil proyek
tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong
antar sesama.
4. Menolak kemungkaran.
Diantara tujuan ideal berusaha
adalah dapat menolak kemungkaran besar akan dilakukan oleh yang menganggur.
Pada intinya, hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
·
Ijarah ialah, pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa
sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah, serta
tanpa adanya kepemindahan kepemilikan.
·
Rukun ijarah ada 5, yaitu:
1. Mu’jir (orang/barang yang disewa).
2. Musta’jir (orang yang menyewa).
3. Objek transaksi (manfaat).
1. Mu’jir (orang/barang yang disewa).
2. Musta’jir (orang yang menyewa).
3. Objek transaksi (manfaat).
4. Sighat (ijab dan qabul).
5. Imbalan atau upah.
5. Imbalan atau upah.
·
Syarat ijarah ada 6, yaitu:
1. Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2. Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
1. Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2. Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4.
Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5.
Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak
boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk
mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6.
Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai
dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
·
Yang menjadi dasar hukum Ijarah ada 3:
1. Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an khususnya didalam surat Az-Zukhruf: 32. Menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
2. As- Sunnah
Dalam salah satu hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.
Hadits diatas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang dipekerjakan, yaitu nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau selesai dilakukan. Dalam hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi ijarah.
3. Ijma.
Mengenai kebolehan ijarah, para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
1. Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an khususnya didalam surat Az-Zukhruf: 32. Menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
2. As- Sunnah
Dalam salah satu hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.
Hadits diatas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang dipekerjakan, yaitu nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau selesai dilakukan. Dalam hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi ijarah.
3. Ijma.
Mengenai kebolehan ijarah, para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
Saran
Dengan
demikian segala hal yang berkaitan dengan Ijarah, terutama dalam pelaksanaanya
harus berdasarkan pada aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh Allah swt di
dalam Al-Qur’an, serta berdasarkan pada Sunnah-sunnah nabi dan ijma. Agar kita
semua terhindar dari hal-hal yang di larang dalam syari’ah islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Syafe’i, Rachmat. 2004, Fiqih Muamalah.
Ø Suhendi, Hendi. 2002, Fiqh Muamalah.
Ø Djuwaini, Dimyauddin. 2008, Fiqh Muamalah.
Ø Karim, Helmi. 1997, Fiqh Muamalah.
Ø Suwardi
K. Lubis, 2004, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Ø www. blog.uin-malang.ac.id/enasmi/2012/04/21/الإجاره-sewa-menyewa-2